Pertama Kali yang Menyebarkan Hoax Adalah Iblis, Benarkah?


Islampers.com - Jakarta
Merebaknya HOAX (Berita Bohong) bukan tanpa sebab dan bukan tanpa alasan, juga bukan mengalir begitu saja, melainkan ada orang besar yang berkepentingan yang sedang memainkannya, agar kita semua tersesat dari fakta yang ada dan berhasil di giring sesuai kemauan mereka.

Lalu siapa pertama kali yang menyebarkan hoax?

Hoax, pertama kali dilakukan oleh iblis. Tentang sentuhan Quldi. Kenapa berhasil? Karena secara default, keinginan memenuhi rasa penasaran manusia lebih tinggi daripada keinginan menggapai bahagia.

Adam Hawa adalah sejarah pembelajaran hal itu. Sudah jelas-jelas di surga yang penuh kebahagiaan, tapi karena ingin memenuhi rasa penasaran, akhirnya jeblok.

Adam Hawa pun didera rasa penasaran dan penderitaan dengan terpisahnya mereka selama ratusan tahun. Diakhiri dengan pertemuan kembali di Jabal Rahma, puncak kasih sayang.

Makna keseluruhan bahwa sebuah rasa penasaran, keinginan-keinginan keterpukauan hanya bisa ditundukkan dengan Cahaya Rahmat, wilayah kasih sayang, keteduhan dan kenyamanan. Sehingga seseorang tak lagi sibuk dengan pencarian-pencarian akan keheranan- keheranan peradaban.

Jadi, kalau pingin hoax gak viral secara masif, tebarkan kasih sayang dan hablumminannas yang nyaman. Sebab, penebar hoax hanyalah manusia-manusia yang kurang perhatian dan kasih sayang aja, tak peduli status sosialnya sendakik apa.

Faktanya, semakin kurang perhatian dan kasih sayang manusia, seseorang cenderung ingin memunculkan diri untuk diperhatikan dengan muatan yang berlebihan, gak bisa woles. Dan hal paling gampang dilakukan adalah dengan menebar hoax yang terlihat bau-bau super intelek atau heroisme.

Ujung2nya, karena merasa superior dengan menebar hoax, ya balik lagi keluar sifat iblis paling utama, ana khoiru minhu, Aku lebih baik dari kamu, dengan turunan kalimatnya; aku lebih intelek dari kamu, aku lebih peduli dari kamu, aku lebih sangar dari kamu, aku lebih idealis dari kamu, aku lebih bhinneka dari kamu, aku lebih syar'i dari kamu, aku lebih moderat dari kamu dst, yang intinya kita telah merebut selendang sifat kemuliaan Alloh dengan merasa lebih mulia dari mahluk lain. Padahal sifat itu satu2nya yang gak boleh dipakai manusia.

Lha namanya yang direbut itu Gusti Alloh, pasti mangkelnya gak ketulungan dung. Maka diontang-anting, dimobatmabitkanlah hati dan pikiran kita menjadi stress dalam kemuliaan artifisial ini.

Tapi balik lagi, tenang saja, wallahu ghofururrohim. Gusti Alloh suka ngampuni, asal kita mau saling berkasih sayang dengan sesama.

Balik awal, setiap kita ingin menulis atau menebar suatu berita, di dalam dada kita pasti ada dua yang muncul. Nur dan Narr. Itulah yang nantinya menjadi semakin membesar di dalam dada. Nur dan Narr sama-sama bercahaya tapi banyak yg tertipu dan tidak bisa membedakan. Bila Nur, maka dada kita menjadi terang, tenang dan lapang setelah menulis dan menebar berita. Bila Narr, dada kita semakin mudah emosi, reaktif, agressif dan sumpek.

Dari sini kita akan dikembalikan pada hakekat ilmu adalah cahaya, Nurullah. Artinya, bila sesuatu kita anggap ilmu, tapi nyatanya bikin Narr dalam dada, ia bukanlah ilmu. Walau terlihat logis, modern, intelek, ajaran tertinggi dsb. [islampers.com]

Salam Damai Saudaraku.
Advertisement

Tidak ada komentar

Silahakan berkomentar sesuai artikel