Isu Uighur, Perang Dagang dan Perebutan Kekuasaan
Foto ilustrasi |
Islampers.com - Jakarta
Oleh Ahmad Madzkur Awwab
Sebenarnya di perhelatan negara negara adi daya ini hanya SDA. Dengan SDA yang kuat maka ratusan tahun yang akan datang kesejahteraan hidup mereka dan keturunannya akan terjamin.
Dari hasil survei yang sangat kredibel dan independen objektif di tahun 2050 yang merajai perekonomian itu adalah Cina. Sesuatu yang membuat badan survei tercengang adalah posisi Indonesia saat tahun 2050 dengan waktu yang sangat singkat mampu menduduki tingkat ke empat secara internasional.
Untuk memperlambat perkembangan itu tak henti hentinya mereka akan melakukan segala cara. Diantaranya jurus post-truth peran media dalam membentuk maindset seakan menjadi agama baru yang melahirkan "kebenaran".
Fabrication dan hoaxes yang dilakukan secara massif dan serentak akan melahirkan epistem regimented atau pengetahuan yang merezim. Dan cara-cara ini telah dilakukan Orde Baru dalam perspektif sejarah. Dalam teori sejarah maka yang memegang otoritas itu adalah penguasa.
ICMI dibidani sebagai bayang-bayang rivalitas NU. Bung Tomo lebih memiliki ruang luas diterima sebagai Pahlawan bahkan menduduki inisiator peperangan 10 November. Padahal dibalik itu semua adalah peranan Kiai Pesantren dan santri, hususnya NU. di saat itu TNI pun belum terbentuk, bahkan laskar santri dan hizbullah menjadi cikal bakal lahirnya TNI. Kalau tidak ada KH Hasyim Asy'ari jangan harap Indonesia -yang seumur jagung memproklamirkan kemerdekaannya- akan terus merdeka hingga sekarang.
Setelah lengsernya orde baru dengan celah post-modernisme dan globalisasi Indonesia didera oleh perhelatan identitas dan integritasnya dengan masuknya faham-faham radikalisme dan khilafah. Kesemuanya untuk memperlambat pertumbuhan peradaban mapan bagi Indonesia sebagai Negara berkembang.
Sejak itu sepertinya Indonesia hanya direpotkan oleh isu Sara ditengah celah pluralitas kebangsaan yang sangat potensial untuk terinfiltrasi gaya pemikiran Islam luar. Namun lagi-lagi NU yang telah mengakar dan Ulamaknya yang memiliki trah "multi kratonik" membuat peneliti keber-Islaman NKRI terperenjat, lebih-lebih ketika Gusdur yang memiliki capital basic pesantren dan keulamaan menduduki pemerintahan.
Dengan khas humornya Gusdur -Rohmatullah Alaih- mampu membuat pemimpin-pemimpin dari Negara-Negara luar terpingkal pingkal dalam guyonannya yang mengandung kritik sosial dan konstrutif. Beliau mampu memperkokoh eksistensi dan lokus NKRI di kancah Internasional sebagai Negara yang berdaulat dan utuh tak bergeming dengan maslah poso dan sambas. Lagi-lagi NU menyejarah dan menoreh kemampuannya dalam lintas internasional untuk mem-bradging jejaringnya menjadi sebuah ideologi yang merezim.
Di era sekarang dimana afiliasi NU lebih menampakkan warna relasi backupnya pada pemerintah maka NU akan semakin menjadi sorotan trias politik dunia yang tidak bisa dianggap remeh. Relasi Ulama Pesantren dan Penguasa sejak sebelum kemerdekaan sudah benar-benar terjalin di Nusantara.
Profesionalisme aktor Islamisasi yang memanfaatkan budaya dengan semangat tidak memberontak pada keraton menjadi perhatian para penguasa untuk didekati. Inilah yang dikatakan Gusdur sebagai Multi kretonik, para Ulama dan Kiai yang telah memiliki sanad keilmuan dan tarekat telah menunjukkan sebuah paradigma baru dalam konteks kekuasaan.
Mereka mampu menciptakan "kekuatan politik" dengan ajaran dan ilmu pengetahuannya di bawah "kekuasaan politik" yang dipangku oleh penguasa kerajaan dan keraton. Take and Give kira demikian relasi koordinatif yang dilakukan Ulama di masa itu, bahkan diantaranya ada yang diambil menantu penguasa. Penguasa semakin memberikan fasilitas, policy, dan kebijakan yang mendukung Islamisasi.
Lihat sejarah samudera pasai dan kerajaan demak pertama oleh Raden Fatah yg didukung wali songo, maka semakin nampak relasinya saat itu.
Namun ketika pihak keraton atau penguasa sudah mendukung kebijakan VOC yang menindas maka Ulama keluar dari relasi itu. Dan mereka menggalakkan pesantren dan dakwah Islam di luar kekuasaan. Hal ini persis dengan sejarah Diponegoro mendirikan simpul-simpul dan jejaring melalui jalur pesantren dan tarekat. Hingga di saat kekuatan itu dibutuhkan secara mendadak maka jejaring ini akan membuat kolonial Belanda keteter karena akan melihat seantero Jawa akan berperang mengusir mereka.
Sama sekarang disaat NU manampakkan afiliasinya maka mati matian akan diserang. Dimensi bobot politik baik di kontestasi pilkada dan presiden cukup menjadi zombie bagi mereka yang bertandang memasarkan ideologinya disini.
Sekarang isu uyghur dipermainkan oleh sekutu. Namun dibuat kesempatan para penganut kemapanan dan idealisme agama temporal dan politis sebagai sarana post-truth untuk mencoreng wajah NU. Ingat jadilah orang cerdas yang genuine bukan bajakan dan sarjana googling. Terimakasih
Advertisement
Baca juga:
Komentar