Pakar Hukum: Kewarganegaraan 600 WNI Eks ISIS Otomatis Gugur

Warga dikumpulkan di sebuah lokasi, setelah mereka dievakuasi dari Baghouz di timur Suriah, wilayah pertahanan ISIS terakhir yang berhasil direbut Pasukan Demokratik Kurdi (SDF) yang didukung Amerika, 5 Maret 2019.

Islampers.com - Jakarta
Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana mengatakan bahwa 600 warga negara Indonesia atau WNI eks ISIS telah kehilangan kewarganegaraan Indonesianya. "Menurut UU Kewarganegaraan 2006 di Pasal 23 ada beberapa alasan mengapa kewarganegaraan Indonesia gugur," kata Hikmahanto kepada Tempo, Rabu, 5 Februari 2020.

Hikmahanto menjelaskan, berdasarkan Pasal 23 UU Kewarganegaraan 2016 huruf (d) menyebutkan kehilangan kewarganegaraan disebabkan karena masuk dalam dinas tentara asing tanpa izin terlebih dahulu dari Presiden. Sementara huruf (f) menyebutkan secara sukarela mengangkat sumpah atau menyatakan janji setia kepada negara asing atau bagian dari negara asing tersebut

Merujuk pada aturan itu, maka kewarganegaraan WNI yang bergabung dengan Negara Islam Irak dan Suriah atau ISIS otomatis gugur. "Kan ikut ISIS masuk dinas tentara asing. Kalau istri atau anaknya karena mengangkat sumpah."

Kewarganegaraan mereka bisa saja dikembalikan. Namun, kata Hikmahanto, mereka wajib mengikuti prosedur yang diatur perundang-undangan. Dalam kasus mantan Wakil Menteri ESDM Arcandra Taher, misalnya, karena memiliki kewarganegaraan ganda dapat menjadi rujukan pemerintah jika ingin memulangkan 600 warga eks ISIS.

Hikmahanto mengingatkan ada dua pertimbangan yang harus diperhatikan pemerintah bila hendak menerima kembali mereka ke Indonesia. "Pertimbangan ini tidak sekedar penenuhan formalitas yang diatur dalam peraturan perundang-undangan atau alasan kemanusiaan," katanya.

Pertama adalah seberapa terpapar warga ISIS asal Indonesia dengan ideologi dan paham yang diyakini oleh ISIS. Penilaian ini perlu dilakukan secara cermat per individu. Penilaian mengenai hal ini penting agar mereka tidak menyebarkan ideologi dan paham ISIS di Indonesia.

Kedua, seberapa bersedia masyarakat di Indonesia menerima kehadiran mereka kembali. Kesediaan masyarakat di sini tidak hanya dari pihak keluarga namun pada masyarakat sekitar di mana mereka nantinya bermukim, termasuk pemerintah daerah. "Dewasa ini kebijakan pemerintah pusat bila tidak dikomunikasikan dengan baik ke daerah, bisa memunculkan penolakan dari daerah. Akibatnya pemerintah pusat akan kerepotan tersendiri," kata Hikmahanto.

Sumber ; Tempo.co
Advertisement

Tidak ada komentar

Silahakan berkomentar sesuai artikel