Fenomena Islam Politis Pasca HTI
Bendera HTI |
Islampers.com -Jakarta
Fenomena pembubaran ormas Islam HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) menunjukkan perubahan yang besar dalam perkembangan Islam di negeri ini.Dalam sejarah internal Islam Indonesia, hampir tidak ada ormas yang lahir dari perut Indonesia dengan ciri-ciri ingin menegakkan syari’at sebagai ideologi negara dan kehilafahan Islam secara universal (kecuali NII-DI, tentu saja, meskipun NII tidak masuk dalam jajaran gerakan Islam trans-nasional).
Meski bukan fenomena yang sama sekali baru, HTI telah menunjukkan-melalui banyak pengikutnya-bahwa banyak umat Islam Indonesia yang sudah lelah dengan ketimpangan sosial politik yang ujung-ujungnya ideologi negara dianggap sebagai biang keladi dan faktor tunggal kekacauan bangsa ini. Meski kenyataannya keberadaan HTI tak lebih dari sebuah ancaman yang membahayakan keutuhan NKRI.
HT (Hizbut Tahrir) sebenarnya murni fenomena Islam politis, yang secara internal ingin mengembangkan dan menfokuskan diri pada tatanan sosio-politik, khususnya dalam komunitas Islam secara luas. Sebagai jaringan trans-nasional, strategi mereka memang cukup bagus dan sistematis, tapi mereka bahkan gagal membuktikan di mana letak kesuksesan kekhilafahan Islam dan bagaimana ia berperan dalam suksesi pemerintahan di era modern ini.
Kelompok Islam politis jenis ini menolak, sekurang-kurangnya pada tataran teoritis, semua ideologi modern seperti demokrasi, sekularisme, nasionalisme, dan sosialisme-komunisme.Mereka bahkan juga menolak “Westernisasi” yang dianggap faktor penentu seluruh kekacauan di dunia saat ini, yang dibelakangnya ada Amerika dan sekutu-sekutunya.Bukankah ini dapat disebut sebagai sebuah percobaan intolerensi?
HTI ingin memperjuangkan sebuah reformasi dan perubahan yang besar di dalam komunitas muslim, dengan lebih menekankan pada aspek nilai-nilai yang ‘Islami’ untuk menggantikan apa yang mereka pahami sebagai nilai-nilai dan norma-norma Barat, dalam konteks Indonesia, Pancasila, demokrasi, dan UUD 45 juga bagian dari sistem dan ideologi yang mereka anggap kebarat-baratan.
Tentu saja, mereka tertarik membangun sebuah negara Islam. Bisa dilihat, sebagian dari mereka memilih untuk menggunakan pendekatan revolusioner terhadap sesuatu yang mereka anggap sebagai pemerintahan negara Islam yang ‘non-Islami’, seperti di Indonesia saat ini.
Meskipun jalan ini tidak dilalui dengan cara-cara kekerasan, tapi sebagai jalan terakhir, kadang-kadang kekerasan juga dianggap perlu, ini dapat dilihat bagaimana sepak terjang HT dikancah internasional.Tapi pada umumnya, HT lebih memilih untuk menggunakan pendekatan yang gradual, seperti misalnya melalui jalan pendidikan, bahkan mulai dari tingkat akar rumput.
Itulah kenapa, HTI seringkali didapati lebih banyak merekrut pemuda-pemudi yang masih pada taraf penempuh pendidikan formal, khususnya tingkat universitas. Di samping lebih mudah, para pemuda-pemudi seringkali dianggap sebagai individu yang masih pada taraf pencarian jati diri, ketika HTI menyuguhkan sebuah nilai-nilai Islam yang menurut mereka ideal dan dapat menjadi solusi bagi kekacauan yang terjadi, maka dengan mudah ideologi ini dapat tertanam di benak sanubari mereka.
Dapat dikatakan bahwa kelompok Islam politis seperti HTI dan sejenisnya, sangat getol dalam membangun dan mengembangkan sebuah program alternatif yang berguna untuk memperluas doktrin dan ajaran tentang arti penting Islam yang sesungguhnya dan peran sosio-politik Islam dalam masyarakat secara luas.Mereka bahkan berpendapat bahwa toleransi hanya ada ketika negara Islam dapat ditegakkan, betapa ini merupakan sebuah logika berpikir yang salah kaprah.
Mereka bereaksi keras atas sebuah fakta dan keadaan sosial yang mereka saksikan sendiri di mana peran Islam dalam masyarakat muslim makin hari makin terkikis dan tidak memiliki orientasi yang jelas. Dalam pemahaman mereka, sebab terkikisnya doktin Islam ini sebagian besar sudah ada dan ternanam kuat sejak zamana kolonial dahulu.
Pasca kemerdekaan, banyak negara modern seperti Indonesia, semakin membuka jalan baru, misalnya tentang proses penyusutan dan marginalisasi syari’at Islam dan pada saat yang sama membuka peluang selebar-lebarnya bagi dominasi sistem peraturan dan hukum-hukum yang non-Islami. Fenomena ini persis terjadi dalam sejarah pembentukan negara di Indonesia.
Secara internasional, betapapun memiliki perbedaan satu sama lain, HT sebenarnya dapat disandingkan dengan berapa bentuk gerakan Islam politis lainnya, misalnya gerakan yang begitu populer seperti Ihwanul Muslimin di Mesir dan Jamaah Islamiah di Pakistan.Keduanya sama-sama mendambakan sebuah tatanan sosial yang benar-benar Islami, baik secara sosial, budaya dan politik.
Mereka menggunakan beberapa pendekatan yang begitu mirip dalam memperjuangkan dan menginisiasi perubahan sosial, serta banyak mengadopsi ideologi yang menekankan pada sejumlah aktivis Islam yang lebih banyak guna untuk menentang pemilik kekuasaan yang otoritatif, baik dalam konteks negara atau pun agama.
Dalam banyak hal, mereka bermaksud ingin merubah masyarakat Islam dari dalam, dari suatu negara dan kemudian merambat ke negara-negara lainnya, di sinilah letak trans-nasional yang coba mereka bangun. Dalam setiap hambatan yang menghalangi gerakan perubahan yang mereka perjuangkan akan menjadi target sasaran, terutama pemerintah dan sedikit semi sedikit mengikis ideologi negara melalui masyarakatnya.
Namun demikian, di samping gerakan-gerakan Islam politis itu, ada banyak kelompok aktivis militan lain yang bermunculan sebagai sempalan dari bentuk populer gerakan ini, meskipun ada juga yang benar-benar berbeda secara mendasar. Di Indonesia bentuk gerakan Islam politik yang paling dianggap ‘maenstrim’ memang hanyalah HTI (sebelum pada akhirnya ia dibubarkan secara paksa).
Tapi di luar itu, ada banyak bentukdari gerakan Islam politis yang tidak menginginkan pembentukan negara Islam dalam sistem kekhilafahan, tetapi ingin mengadakan sebuah proyeksi penanaman nilai-nilai Islam secara mendasar bagi masyarakat, seperti FPI misalnya.
Melalui organisasi, atau pun partai politik yang dibangun, mereka ingin menjadikan Islam sebagai bagian penting dari cara-cara bernegara kita.Sebagai negara mayoritas Islam dan terbesar di dunia, gerakan ini boleh jadi penting, sejauh ia tidak membahayakan keutuhan NKRI.
Islam politis memang sangat beragam, mereka seringkali tidak menunjukkan kemiripan yang tegas satu sama lain, tetapi ada yang dapat menyatukan tipikal cara beragam mereka, yakni menginginkan Islam dan politis (negara) sebagai sesuatu yang tidak pernah bisa dipisahkan oleh jenis ideologi apapun.
Mereka menganggap, khususnya kelompok Islam politik yang militan seperti HTI, bahwa negara bangsa seperti Indonesia dan banyak di negara berpenduduk muslim lainnya sekarang ini, sama sekali tidak sah
Alasan mereka cukup jelas, bahwa agar sebuah negara menjadi sah maka kekuasaan dan sistem legitimasinya haruslah berasal dari Tuhan dan kekuatan langit, artinya dari dokrin agama, dari wahyu, dan apa-apa yang datang dari langit, bukan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat seperti demokrasi kita saat ini.
Kedaulatan Tuhan melalui agama, harus menjadi supremasi di dalam struktur negara. Sehingga kekuatan negara tersebut harus menegakkan dan menerapkan sebuah hukum berdasarkan asas-asas Islam, bukan seperti apa yang seringkali dikatakan di era modern, yakni ‘hukum yang dibuat dan disepakati oleh manusia’.
Karena memang banyak negara muslim yang tidak menerapkan sistem hukum Islam sebagai basis negara, maka negara-negara itu dianggap tidak sah dan menjadi sasaran empuk para aktivis mereka, tidak terkecuali juga Indonesia. Mereka hanya menggap Barat sebagai rival, dan mencoba merubah tatanan melalui negara-negara yang mayoritas beragama Islam yang mereka anggap lebih mudah dalam melakukan perubahan.
Berakhirnya era HTI di Indonesia tidak lantas menyurutkan gelora gerakan Islam politis lainnya, secara institusional, HTI memang telah bubar dan dilarang keras oleh negara melalui Undang-undang yang telah dibuat, tapi sebagai ideologi, mereka tidak akan pernah hilang.
Ini bukan soal berhadapan dengan apa dan siapa, juga bukan berurusan dengan pelaku tertentu, ini adalah soal ideologi, soal perubahan dan pergantian sebuah sistem politik dalam bernegara, maka dari itu kekuatan ideologi haruslah dihadapi dengan kekuatan ideologi pula.
Pasca HTI, maenstrim Islam politis di Indonesia mungkin telah surut, khususnya pada tataran gerakan militan terselubung yang memproyeksikan negara Islam. Tapi di luar itu, tidak ada jaminan bahwa kelompok Islam politis jenis lainnya tidak akan pernah bermunculan, di tambah bekas pengikut HTI yang tidak mungkin serta merta akan keluar begitu saja dari HTI (secara ideologis), karena yang dibubarkan hanyalah tingkat struktural, tidak ada yang tau apakah mereka masih bersikap teguh atau sudah berganti pancasila.
Pengakuan sah melalui hitam di atas putih, secara hukum memang valid, tetapi itu bukan jaminan bahwa mereka telah benar-benar taubat dan beralih menjadi berpancasila secara kaffah. Mereka boleh jadi mau mengakui nasionalisme dan pancasila-karena memang tidak ada pilihan kecuali mereka mau berada di balik jeruji-tapi bagi mereka, itu bukan sebuah keputusan absolut, mereka mengganggap tidak ada hukum yang pasti kecuali hukum Tuhan, apalagi hukum positif yang konstuksinya banyak berasal dari warisan kolonial yang juga dianggap toghut.
Paling tidak, fenomena Islam politik telah begitu banyak merubah cara-cara banyak orang dalam melihat Islam. Pada tataran keragaman di Indonesia, keberadaan dari gerakan Islam politis begitu mewarnai corak masyarakat dalam beragama, khususnya sikap intoleransi yang meningkat dan saling menyalahkan terhadap kelompok yang berbeda haluan, ini adalah kecenderungan yang bertentangan dengan cara beragama masyarakat kita yang penuh toleran dan menghargai perbedaan sebagai sesuatu yang perlu dihormati.
Sekali lagi, gerakan Islam politik tidak akan pernah mati, karena umat Islam percaya bahwa antara Islam dan politik bukan sesuatu yang perlu dipertentangan, tetapi mungkin hanya perlu adanya pembedaan secara tegas, itulah kenapa mayoritas kaum muslim di Indonesia selalu menetapkan kesepahaman dan keselarasan antara Islam dan ideologi negara berbasis Pancasila, karena Pancasila tidak bertentangan dengan Islam secara universal dan justru merupakan nilai-nilai yang searah dengan hakikat Islam itu sendiri.
Tugas kita semua, khususnya untuk mayoritas umat Islam, adalah menjaga keutuhan NKRI dengan penuh keteguhan hati dan pikiran yang sejak awal telah disepakati bersama, tidak akan menjadikan agama sebagai ideologi negara, tetapi melalui Pancasila sebagai ideologi pemersatu, dapat merangkul dan menyatukan perbedaan dalam semangat nasionalisme dan persaudaraan.Untuk itulah, toleransi harus selalu dikedepankan di atas keragaman atau pluralitas masyarakat kita. [Islampers.com]
Oleh ; Rohmatul Izzad
Advertisement
Baca juga:
Komentar