Negara Islam: Pondasi yang Rapuh
Foto Ilustrasi |
Islampers.com - Nusantara
Negara
Islam: Pondasi yang Rapuh
Oleh:
Rohmatul Izad
Hubungan
sinkronis antara Islam dan politik belum pernah mendasarkan pada sesuatu yang
kita sebut sebagai ‘negara Islam’ atau pengimplementasian syari’at Islam secara
menyeluruh. Memang ada satu fakta yang menyebutkan bahwa para penguasa muslim
sering mencari ketetapan Islam dalam kebijakan politiknya, tetapi hal ini tidak
penah mewakili sebuah pendefinisian tentang arti negara Islam sebagai sebuah
sistem yang jelas dan baku.
Meskipun,
tidak dapat dipungkiri bahwa syari’at Islam memiliki peranan yang sangat
penting dalam kehidupan ummat Islam baik secara pribadi maupun komintas umat
secara luas. Tetapi, peranan ini dilakukan berdasarkan kesadaran ilahiyat dan
keikhlasan dari komitmen setiap pribadi muslim. Bukan atas dasar kecenderungan
yang tegas dalam menegakkan sebuah sistem yang disebut sebagai institusi/lembaga
negara.
Sebenarnya,
gagasan tentang ‘negara Islam’ muncul bersamaan sekaligus bagian dari periode
pembaharuan yang dilakukan oleh banyak kelompok konservatif pada sekitar
pertengahan abad ke-20. Betapapun fenomena ini berangkat dari pemahaman tentang
doktrin normatif Islam dan al-Qu’ran, tetapi gagasan ini sebenarnya
bertentangan secara faktual dengan kitab suci yang sejuah ini, tidak dipahami
dan dipraktikkan kecuali melalui akal pikiran (produk pemikiran manusia) dan
pengalaman historis umat Islam sendiri.
Jika
produk pemikiran merupakan sebuah hasil dari suatu pergolakan intelektual
antara wahyu dan usaha-usaha yang dilakukan untuk memahami petunjuk itu (dalam
pengalaman yang menyejarah), maka sebuah ketetapan sistem institutional yang
muncul dari penyelarasan antara wahyu dan cara memahaminya yang historis tidak
pernah bisa disebut sebagai sebuah produk dari kecenderungan sistem teokrasi
dalam bernegara.
Ini
sebenarnya lebih merupakan konklusi dari ketetapan dan usaha umat Islam dalam
menetapkan suatu nilai agama dalam konteks persoalan-persoalan yang mengiri
keadaan dan perkembangan kondisi masyarakat, seperti dalam politik, sosial
bahkan ekonomi.
Mengingat
bahwa perkembangan sejarah terjadi secara terus-menerus di samping
problem-problem yang menyertainya, apalagi jika melihat situasi modern saat
ini, sudah menjadi jelas dan niscaya bahwa ada kebutuhan untuk merumuskan cara-cara
baru dalam perubahan sosial-politik yang begitu tidak menentu, pertanyannya
apakah Islam sebagai sistem politik misalnya, mampu merumuskan nilai-nilai itu
dalam sebuah sistem yang komprehensif dan total?
Ide
‘negara Islam’ adalah suatu kesalahpahaman di samping tidak didukung oleh
gagasan dan serangkaian aturan yang jelas, juga bertentangan dengan kondisi
realitas faktual di mana pemikiran politik begitu beragam dan selalu mengalami
perkembangan sesuai dengan kebutuhan dan relevansinya bagi keadaan sosial yang
ada. Bukan hanya pemikiran politik, pemikiran tentang keagamaan juga berkembang
dan tidak pernah menunjukkan satu koherensi yang jelas antara satu pemikiran
dengan pemikiran yang lain.
Prinsip
politik adalah penyatuan, sistem yang dijalankan dari berpolitik juga harus
tunggal yang lalu mengarah pada satu cita-cita bersama yang dapat menyatukan
seluruh aspirasi keragaman pandangan dalam satu misi yang total. Jika pandangan
tentang hubungan antara Islam dan politik tidak pernah menyatu, apalagi justru
didapati banyak memiliki pertentangan dan ketidakkonsistenan, maka sampai kapan
pun, perumusan sistem politik Islam yang komprehensif dan baku dalam cita-cita
pendirian ‘negara Islam’ tidak akan pernah terjadi.
Di
tambah lagi, rekonstruksi syari’at Islam tidak lain adalah bentukkan manusia
yang bersifat duniawi. Syari’at adalah seperangkat ketetapan dan aturan-aturan
agama yang dirumuskan melalui kitab suci, tetapi perumusan itu dilakukan
melalui alam pikiran manusia yang menyejarah dan ada banyak kondisi-kondisi
eksternal yang mempengaruhi terbentuknya konstruksi syari’at.
Harus
diakui bahwa konstruksi syari’at sebenarnya lebih dikondisikan oleh pengalaman
faktual dalam masyarakat Islam, bukan pernyataan langsung dari firman Ilahi
yang jauh dari dorongan-dorongan nafsu dan kesalahan tindakan manusia.Sehingga
proyek penegakan syari’at dalam insitusi negara sebagai suatu bentuk perintah
Tuhan sedari awal sudah sangat kontradiktif.
Jika
kita melihat beberapa negara di Timur Tengah seperti Saudi dan Iran yang sejuah
ini disebut sebagai ‘negara Islam’ ternyata tidak seislamis yang dibayangkan. Syari’at
tidak sepenuhnya dapat melegitimasi dalam konteks negara modern, karena ada
satu kecenderungan di mana tangan-tangan manusia bertindak untuk memasukkan
prinsip-prisip ke dalam apa yang kita sebuat hukum positif, Iran misalnya,
dalam beberapa hal menerapkan sistem demokrasi.
Selain
itu, penegakan syari’at Islam ternyata akan bertentangan secara prinsipil
dengan hakikat kebebasan manusia dalam memilih dan menentukan di antara sekian
banyak pemahaman dan interpretasi al-Qur’an yang berbeda-beda, perbedaan ini
bukan hanya pada tataran antar kelompok, tetapi dalam satu kelompok secara
internal, juga seringkali didapati pertentangan yang cukup keras tentang
pemahaman akan kitab suci.
Ini
semakin mempertegas bahwa syari’at ternyata hanya menyediakan aturan dan
petunjuk yang umum dalam penetapan hukum, tidak menyediakan seperangkat aturan
dan muatan-muatan hukum secara tegas dan komprehensif.
Menurut
pandangan saya, masalah penting yang menyertai hubungan antara Islam dan
politik berawal dari pertalian yang intim antara Islam dan sejarahnya. Kitab
suci dan praktik-praktik yang dilakukan oleh komunitas muslim awal, di mana
sebagian besar turunnya wahyu didasarkan atas responnya terhadap masyarakat
Islam dalam koridor ruang dan waktu.
Selain
itu, pertalian antara kitab suci dan penerapan syari’at mempengaruhi konteks
perluasan ekspansi kekuatan umat Islam yang menyebar secara laus ke berbagai
belahan dunia.Begitupun sebaliknya, konteks sejarah kekuasaan Islam pada waktu
itu juga mempengaruhi bangunan prinsip-prinsip syari’at Islam pada tahap
konstruksinya.
Namun
demikian, ada masalah serius yang perlu dikemukakan, yakni pada periode
belakangan, banyak dari kalangan umat Islam memandang dan memposisikan syari’at
secara sama saja dengan ‘Islam’ (grand
narrative), yang kemudiaan melahirkan pandangan bahwa seluruh sistem hukum,
tatanan sosial dan politik, harus berangkat dari syari’at. Padahal, Islam
sampai kapan pun tidak akan pernah sama dengan syari’at yang penuh dengan
tangan-tangan manusia.
Keyakinan
tentang keselarasan antara tatanan sosial yang harus berangkat dari syari’at
didasarkan pada satu perjalanan sejarah ketika Islam mulai meluas melampaui
batas-batas teritorial antara Makkah dan Madinah, ekspansi tersebut dianggap
awal mula dari jalinan di mana syari’at Islam diterapkan.Padahal, pembentukan
syari’at Islam tidak pernah lepas dari kondisi sejarah.
Ini
melahirkan satu persoalan baru di mana ketika kondisi dahulu dan sekarang
memiliki perbedaan, akibat perubahan kurun waktu dan situasi yang berbeda-beda,
lalu memunculkan sebuah pertanyaan apakah hubungan yang sangat erat antara
Islam sebagai agama dan sejarah masyarakat muslim dapat dihapus? Mungkinkah
menerapkan esensi Islam yang universal dalam konteks waktu dan tempat tertentu
secara spesifik?
Kelompok
militan yang menginginkan pendirian ‘negara Islam’ seringkali mengklaim bahwa
negara Madinah yang didirikan oleh sang Nabi pada waktu itu adalah model
hostoris dari ‘negara Islam’ yang ideal dan legitimatif, yakni dengan menerapan
syari’at dalam institusi negara.
Klaim
ini sekurang-kurangnya, memiliki satu kelemahan, yaitu sistem bernegara dan
kondisi masyarakat pada periode itu, memiliki keistimewaan tertentu dibandingkan
dengan masyarakat dan kekuasaan Islam selanjutnya, yakni era sahabat dan daulah Islamiyah selanjutnya. Mereka
yang hidup bersama sang Nabi, di samping menjalankan ketentuan Islam, juga
segala usaha yang dilakukan dalam menjalankan roda pemerintahan, mendapatkan
inspirasi dan petunjuk langsung dari Nabi yang bahkan tidak ada dalam
al-Qur’an.
Itu
artinya bahwa tidak ada bentuk aturan dalam institusi negara yang dapat
menjustifikasi suatu kebijakan politik dan memutuskan berbagai perselisihan,
kecuali melalui Nabi sendiri, yang dalam banyak hal sangat terikat dengan
konteks zamannya. Ketika Nabi wafat, umat Islam lalu kebingunan dalam
menentukan arah pemerintahan selanjutnya, malahan, banyak suku-suku yang
tercerai berai karena mereka tidak siap dengan kepergian sang Nabi.
Terakhir,
saya ingin menegaskan bahwa hasrat dan ego (yang niscaya dapat berbuat salah)
manusia tidak akan pernah bisa dilepaskan dalam setiap mengatur dan menjalankan
tatanan kehidupan sosial. Jika ini dihubungkan dengan konteks ‘Islam’, maka
hasrat itu akan sangat berperan penting dalam menafsirkan kitab-kitab suci
sebagai pedoman hidup, apalagi jika interpretasi itu sudah pada tahap
implementasi dalam setiap kebijakan politik.
Jadi,
selama manusia dapat berbuat kesalahan dan memungkinkan adanya kondisi-kondisi
ketidaksepahaman dalam memutuskan perkara tertentu, maka
selama itulah sistem ‘negara Islam’ akan sulit didirikan. Apakah layak menutupi
kesalahan-kesalahan ego atas nama ‘negara Islam?
Sumber
Peter
L. Berger (ed). The Desecularization of
the World Resurgent Religion and World Politics, By Ethics and Public
Center Wm. B. Eerdmans Publishing Co. 2003.
Advertisement
Baca juga:
Komentar