Benarkah Pelaku Teror Mengikuti Suara Hati?

Pelaku Teror MH Thamrin
Islampers.com - Jakarta
Oleh: Rohmatul Izad
Dalam tindakan moral, suara hati bersifat mutlak dan memiliki kebebasan dalam dirinya sendiri. Artinya pertimbangan moral seseorang dalam menentukan baik dan buruk ditentukan oleh kesadaran yang berasal dari suara hati. Disebut suara hati sebab ia memiliki jarak dengan kesadaran sekaligus pertimbangan dalam aksi mental seseorang.

Perilaku moral tidaklah diukur dari seberapa bermanfaat tindakan itu dan tidak melulu mengarah pada kebahagiaan. Justru perilaku moral yang baik, tidak berkaitan sama sekali dengan kepentingan dirinya sendiri. Moralitas bisa dipahami sebagai sebentuk kewajiban yang tidak melulu dihubungkan secara langsung dengan tradisi dan agama.

Dalam pengertian bahwa manusia dapat menentukan perilaku baik, tanpa harus didasari oleh ajaran agama, begitu juga manusia dapat menentukan perilaku buruk tanpa harus didasari secara langsung oleh tradisi. Baik dan buruk itu berasal dari pertimbangan moral yang muncul dari suara hati terdalam dan ini bersifat mutlak.

Ini bukan berarti menolak sama sekali fungsi norma tradisi dan agama, kedua hal ini juga memiliki posisi yang amat penting, bahkan sangat primordial dalam menentukan sikap baik dan buruk, hanya saja manusia juga dapat menentukan baik dan buruk tanpa harus melibatkan kedua hal itu.

Lalu bagaimana suara hati dapat memberi petunjuk akan kebaikan dan keburukan? Kepekaan suara hati umunya dapat dilihat ketika seseorang sedang dalam menghadapi suatu masalah atau peristiwa tertentu yang memungkinan bagi seseorang tersebut merumuskan jawaban atas masalah yang sedang dihadapi. Pada wilayah inilah suara hati akan memberikan petunjuk secara langsung berdasarkan insting intuitif seseorang.

Immanuel Kant memberikan contoh yang amat sederhana dalam melihat bagaimana kepekaan suara hati ini bekerja. Misalnya, ada seorang yang diancam akan dihukum mati kecuali dia mau memberikan kesaksian palsu, dalam kasus ini pastilah seseorang tersebut akan mengatasi cinta kepada hidup dan memilih untuk tidak memberikan kesaksian palsu. Jika dia terpaksa memilih untuk memberikan kesaksian palsu, maka sudah pasti akan bertentangan dengan suara hati. Tapi tak semua orang mengikuti suara hatinya.

Ada satu ungkapan Kant yang dapat menjadi renungan bersama, yakni “berbuatlah menurut prinsip sekan-akan perbuatan itu merupakan prinsip umum yang disepakati bersama dan tidak melanggar hukum-hukum yang sudah ada”. Pernyataan ini memberikan satu pendasaran penting tentang betapa manusia dapat mengukur level kebaikan dan keburukan berdasarkan pertimbangan moral individual tanpa harus dipengaruhi oleh tradisi ataupun agama.

Lalu bagaimana dengan kasus terorisme dan para pelaku teror? Apakah tindakan mereka digerakkan oleh suara hati dalam keteguhan yang amat mendalam. Sebab suara hati mengandaikan bahwa bertimbangan moral dapat diukur melalui individualitas seseorang tanpa harus terikat oleh kolektivisme atau pandangan umum.

Jika sudut pandanganya demikian, maka sangat mungkin para pelaku teror mengikuti suara hati mereka. Tetapi, benarkah suara hati tidak mempertimbangkan hukum moral umum sehingga kebebasan ruang geraknya dapat secara bersamaan melukai orang lain dan sekaligus dapat menimbulkan kerusakan.

Memang, kita tidak selalu mengikuti suara hati. Banyak di antara kita hidup dalam aturan-aturan yang telah disepakati secara bersama, seperti norma-norma, tradisi, agama dan hukum yang dibuat oleh negara. Tetapi aturan-aturan itu tidak bersifat mutlak, ia hanya bersifat hipotesis (sementara) dan tidak selalu berkaitan dengan baik dan buruk. Hukum positif misalnya, lebih mengacu pada kesepakatan bersama dan menggunakan logika ‘pemberlakuan’ yang tidak selalu berhubungan dengan baik dan buruk.

Suara hati mengandaikan sebuah hak, yakni hak seseorang untuk memilih dan memutuskan atas berbagai perkara yang sedang ia hadapi. Hak untuk mengambil keputusan yang sekaligus kebebasan bagi dirinya untuk memilih, betapapun tidak bersifat kondisional, tetapi ia sangat terikat dengan hak dan kebebasan orang lain. Jadi putuskan dan lakukan apapun sesuai dengan suara hati, selama ia tidak melanggar kebebasan orang lain, di sinilah letak batasan dari hukum moral berdasarkan suara hati.

Umumnya, suara hati menjadi peka ketika ada suatu masalah di depannya. Keputusan suara hati tak bisa dipengaruhi oleh orang lain dan hal-hal lain di luar dirinya. Tetapi tidak benar jika dikatakan bahwa suara hati dapat pula berfungsi untuk menghakimi orang atau kelompok lain yang menurutnya bersalah. Logika inilah yang tidak bisa dipahami oleh para pelaku teror dan apapun yang mereka anggap keliru harus dihakimi menurut cara mereka.

Misalnya, bagaimana mungkin kita akan diam ketika melihat kesalahan di depan mata? Bukankah kesalahan itu harus diluruskan dan kalau perlu dibasmi. Tidak benar jika kesalahan-kesalahan itu dibiarkan berkembang dan tumbuh dengan subur. Tetapi, kesalahan yang mana? Kesalahan macam apa? Dalam hal inilah para pelaku teror tidak mengerti akan batasan dan justru akal sehatnya dikendalikan oleh fanatisme buta atas nama egosentris.
Sampai di sini menjadi jelas bahwa para pelaku teror sama sekali tidak mempertimbangkan suara hati, justru mereka melukai hati nuraninya sendiri dengan merusak dan melukai orang lain yang memiliki hak untuk hidup.

Kepercayaan itu tidak sepenuhnya berasal dari suara hati, kebenaran iman adalah sesuatu yang berada di seberang sana dan belum menjadi sesuatu yang benar secara hakiki ketika belum sungguh-sungguh sampai di seberang sana.

Iman memang soal hati, kepecayaan terhadap sesuatu, katakanlah Tuhan, harus berangkat dari hati dan akal harus ditundukkan. Tetapi ini amat berbeda dengan suara hati yang betapapun abstraknya, ia memiliki kemampuan untuk memberi pertimbangan moral atas nama sesuatu yang tidak terkait dengan kepentingan dirinya. Para pelaku teror itu berusaha melibatkan iman dan barangkali melalui imanlah ia berangkat, tetapi mereka gagal dan justru menghianati suara hati mereka sendiri yang jelas-jelas bertentangan dengan tindakannya yang  begitu merusak.

Suara hati juga dapat melukai orang lain, seperti sikap dan keputusan yang diambil dalam menyelesaikan suatu masalah. Betapapun beratnya luka itu membekas, seseorang tak dapat begitu saja menghakimi orang lain sebagai sesuatu yang benar-benar salah. Sebab, jika tindakan brutal itu berangkat dari keyakinan agama dan menganggap suara hati membenarkan keyakinan itu, maka saat itulah ia telah keluar dari batasan suara hati dan keyakinannya menjadi tidak benar. [Islampers.com]
Advertisement

Tidak ada komentar

Silahakan berkomentar sesuai artikel