Peliknya Hubungan Bilateral Indonesia dan Israel
Foto Istimewa |
Jika hubungan ini dikaitkan antara dulu dan kini, maka kedua negara ini hampir tak pernah punya hubungan diplomatik secara resmi. Di lain hal, antara Indonesia dan Israel masih memiliki hubungan pergadangan, keamanan dan pariwisata. Meski begitu, hubungan kedua negara ini agaknya cenderung dingin, sebab tak ada hubungan diplomatik yang mengikat keduanya.
Mengutip dari sumber detiknews, Selasa (12/6/2018), Israel mulai memproklamasikan kemerdekaan pada tahun 1948. Namun setelah itu, Israel mulai melakukan pelanggaran perjanjian dengan PBB di mana wilayah Israel di daratan Palestina semakin diperluas yang sebelumnya telah ditentukan oleh PBB.
Sejak saat itu pula, Israel mulai meminta dukungan terus-menerus dari banyak negara, termasuk Indonesia, tujuannya untuk mengakui kemerdekaannya. Indonesia memang tak pernah secara resmi mengakui kemerdekaan Israel, akan tetapi tercatat bahwa Indonesia sangat aktif melakukan hubungan perdagangan dengan Israel sejak tahun 2000.
Di era Presiden Sukarno dulu, sekitar tahun 1950-an, Menteri Luar Negeri Israel kala itu, Moehe Sharett, mengirim pesan telegram kepada Muhammad Hatta, yang saat itu menjabat sebagai Perdana Menteri. Telegram itu berisi pengakuan Israel terhadap kemerdekaan Indonesia. Indonesia waktu itu masih menggunakan sistem federal bernama Republik Indonesia Serikat.
Hingga beberapa tahun kemudian, Indonesia tak kunjung mengakui kemerekaan Israel. Sikap Indonesia makin tegas ketika Presiden Sukarno menolak kehadiran Israel pada Konferensi Asia-Afrika tahun 1955 di Bandung.
Tiga tahun kemudian, Indonesia mengikuti babak penyisihan Piala Dunia 1958. Pada satu pertandingan, Indonesia harus berhadapan dengan Israel. Tetapi pertandingan itu tidak terlaksana sebab Indonesia meminta pertandingan berlangsung di luar Jakarta atau Tel Aviv, dan ditolak FIFA, akhirnya Indonesia memilih mundur daripada lanjut bertanding. Juga, pada tahun 1962, Indonesia menjadi tuan rumah Asian Games, lagi-lagi Presiden menolak kehadiran Israel sebagai peserta di ajang itu.
Baru di tahun 1993, Indonesia memulai hubungan bilateral dengan Israel. Hal ini ditandai dengan kedatangan Perdana Menteri Israel saat itu, Yitzak Rabin, dan bertemu dengan Presiden Suharto. Paling tidak, ada tiga poin penting yang menjadi perbincangan, yakni kemungkinan adanya kerjasama perdagangan antara Indonesia dan Israel, PM Israel juga meminta kepada Pemerintah RI untuk membujuk negara-negara Timur Tengah agar meningkatkan hubungan perdagangan dengan Israel, yang terakhir adanya harapan agar Indonesia mendukung prospek Perdamaian antara Israel-Palestina.
Pada tahun 1994, Abdurrahman Wahid (Gus Dur), yang kala itu menjabat sebagai Ketum PBNU, diundang oleh PM Israel, Yitzak Rabin, untuk menjadi saksi perjanjian damai Israel-Palestina, sebagaimana ditulis dalam situs resmi Nahdlatul Ulama. Ketika Gus Dur menjabat sebagai Presiden Indonesia, kerja sama perdagangan Indonesia dan Israel mulai dibuka.
Hubungan perdagangan ini cukup membaik sampai era kepemimpinan Presiden Joko Widodo. Namun, di tahun 2016, sebab peliknya konflik Palestina-Israel dan tak kunjung menemukan titik temu di mana rakyat Palestina makin menderita, Presiden Jokowi menyerukan boikot terhadap produk Israel saat KTT Luar Biasa OKI di Jakarta.
Di tahun yang sama, Menlu RI Retno LP Marsudi ditolak masuk Israel saat akan meresmikan konsulat kehormatan di Ramallah, ibu kota Palestina. Hal ini lagi-lagi, disebabkan oleh hubungan yang tak baik antara Indonesia-Israel, dan boleh jadi merupakan dampak dari seruan Presiden untuk memboikot produk Israel.
Tampaknya, hubungan buruk bilateral antara Indonesia dan Israel akan terus berlanjut. Mengingat, posisi Indonesia jelas, yakni selalu berada di pihak Palestina dan memperjuangkan kemerdekaan negara itu, yang sejak pendirian dan memploklamirkan kemerdekaan Israel, warga Palestina tak pernah hidup tenang dan makin hari wilayah Palestina dicaplok Israel.
Posisi Indonesia memang sudah sangat tepat, tetapi sejauh ini, Indonesia belum memiliki peran yang signifikan dalam membantu perdamaian antara kedua negara itu. Indonesia hanya numpang suara di PBB, yang sejauh ini, tampaknya PBB justru kurang bersikap netral dan kurang mengupayakan perdamaian bagi konflik dua negera tesebut. Misalnya, Palestina tak kunjung diakui kemerdekaannya merupakan sikap yang akan terus membuat konflik itu menjadi makin pelik.
Di luar hubungan perdagangan, tampaknya hubungan Pariwisata antara Indonesia-Israel justru tampak baik. Menurut data, ada sekitar 25000-30000 wisatawan Indonesia yang berkunjung ke Palestina dan Israel tiap tahunnya. Para wisatawan umumnya bertujuan untuk mengunjungi situs-situs sejarah yang juga memiliki hubungan dengan agamanya.
Kita tahu bahwa Yerusalem-yang baru-baru ini didaulat sebagai Ibu Kota Israel yang sebelumnya di Tel Aviv-merupakan kota suci agama Abrahamik yang meliputi Yahudi, Kristen dan Islam. Tujuan wisatawan jelas, mereka ingin menyelami lebih dalam agama mereka melalui situs-situs sejarah.
Namun demikian, baru-baru ini, Indonesia membuat kebijakan baru, yakni memblokade Visa masuk ke Indonesia bagi wisatawan Israel, meski kebijakan ini belum akan benar-benar berlaku sampai 26 Juni mendatang. Kebijakan ini boleh dikata merupakan dampak memburuknya konfilik Israel-Palestina, di mana beberapa waktu yang lalu, khususnya ketika meresmikan Ibu Kotanya di Yerusalem, Israel telah melakukan serangan berdarah dan mematikan kepada warga Palestina yang melakukan demonstrasi damai.
Terlepas dari itu semua, baik buruknya hubungan Indonesia dan Israel, dari dulu hingga kini, selalu terkait dengan posisi Indonesia terhadap Palestina. Perjuangan Indonesia untuk memerdekakan Palestina selalu mendapat tanggapan yang kurang baik dari Israel, meskipun Indonesia belum memiliki peran strategis dan signifikan untuk mengupayakan itu. Paling tidak, sikap simpati dan memberi bantuan materiil secara terus-menerus ke Palestina, merupakan satu langkah menuju perjuangan memerdekakan Palestina.
Apalagi, baru-baru ini, Indonesia terpilih menjadi anggota keamanan PBB, yang artinya Indonesia akan memiliki peran yang lebih stragetis dalam mengupayakan perdamaian dalam sekala global, termasuk mewujudkan perdamaian antara Israel-Palestina. Tentunya, kita semua berharap Indonesia dapat memberikan kontibusi yang lebih bagi tercapainnya perdamaian dan seterusnya menjadi benteng utama bagi keamanan dunia. [Islampers.com]
Rohmatul Izad. Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Filsafat UGM, Ketua Pusat Studi Islam dan Ilmu-Ilmu Sosial di Pesantren Baitul Hikmah Krapyak Yogyakarta.
Advertisement
Baca juga:
Komentar