Akar Akar Historis dan Geografis Islam Nusantara

Foto Istimewa
Islampers.com - Jakarta
Alhamdulillah, Islam Kita Islam Nusantara, Islam yang penuh sopan santun, penuh tata krama dan toleransi

—Joko Widodo, Presiden Republik Indonesia

Islam Nusantara memiliki karakter Islam yang ramah, anti radikal, inklusif dan toleran bukan “Islam Arab” yang selalu konflik dengan sesama Islam dan perang saudara

—KH Said Aqil Siradj, Ketua Umum PBNU

Islam Nusantara: Latar Belakang

Islam Nusantara telah menjadi buah bicara paling tidak dalam tiga tahun belakangan ini. Sebagai istilah, “Islam Nusantara” bukan istilah yang baru—banyak judul buku, tulisan, kolom, hingga percikan pemikiran atau kerlingan status dalam media sosial menggunakan istilah “Islam Nusantara”. Namun, istilah “Islam Nusantara” tiba-tiba populer dalam rangkaian pembicaraan setelah dilemparkan ke publik oleh Ketua Umum PBNU, KH Said Aqil Siradj dalam pembukaan acara Istighotsah Menyambut Ramadhan dan Pembukaan Munas Alim Ulama NU, Minggu, 14 Juni tahun 2015 lalu di Masjid Istiqlal, Jakarta.

Untuk selanjutnya istilah “Islam Nusantara” viral dan menjadi pembahasan baik dalam tradisi oral dan tulisan. Istilah ini terus memantik diskusi dengan percikan gagasan baik dari yang pro atau yang kontra. Sudah banyak sekali tulisan yang membahas istilah ini, baik yang ingin menolak atau yang ingin membelanya. Tak sedikit penceramah yang menyinggung diskusi ini. Dalam tradisi diskursus, istilah “Islam Nusantara” sukses membuka ruang diskusi yang tak pernah henti.

Pertanyaan utama berpusar di sekitar, apa definisi Islam Nusantara? Apa benar ada? Hingga pertanyaan yang sering menyeret argumen teologis karena mengaitkan dengan hukum boleh atau tidaknya menggunakan istilah Islam Nusantara.

Menurut KH Said Aqil Siradj—yang melontarkan istilah Islam Nusantara pada tahun 2015 lalu—NU akan terus memperjuangkan dan mengawal model Islam Nusantara. Istilah Islam Nusantara yang ia maksud merujuk pada fakta sejarah penyebaran Islam di wilayah Nusantara yang disebutnya “dengan cara pendekatan budaya, tidak dengan doktrin yang kaku dan keras, Islam Nusantara ini didakwahkan merangkul budaya, melestarikan budaya, menghormati budaya, tidak malah memberangus budaya.”

KH Said Aqil Siradj juga menambahkan Islam Nusantara memiliki karakter “Islam yang ramah, anti radikal, inklusif dan toleran.” Sebagai suatu model, Islam Nusantara berbeda dari apa yang disebutnya sebagai “Islam Arab yang selalu konflik dengan sesama Islam dan perang saudara.” Kita pun mafhum, apa yang sedang terjadi di beberapa negara Arab saat ini, seperti Libya, Suriah, Iraq, Mesir, Yaman yang tidak sepi dari kekerasan dan konflik bersaudara, atau bom-bom bunuh diri yang menggoncang Saudi Arabia dan Kuwait.

Gayung bersambut, Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo yang saat itu hadir, membuka dan memberikan kata sambutan. Jokowi menceritakan dalam setiap pidatonya di konferensi-konferensi internasional yang ia ikuti, seperti KAA (Konferesi Asia Afrika) dan G-20 ia menegaskan kebanggaan dan kekuatan bangsa Indonesia sebagai negara muslim terbesar di dunia. Di tengah perpecahan dan perang saudara di Timur Tengah yang penduduknya mayoritas muslim, Indonesia tetap mampu menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. “Alhamdulillah Islam kita, Islam Nusantara,” puji Jokowi sekaligus membuka rahasia di balik persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Islam Nusantara yang ia maksud adalah “Islam yang penuh sopan santun, penuh tata krama dan toleransi. Itu lah Islam Nusantara.”

Nahdlatul Ulama, ormas keislaman terbesar di Indonesia pada tahun 2015 memang tengah gencar mempromosikan istilah Islam Nusantara yang menjadi tema Muktamar ke-33 yang dihelat di Jombang, Jawa Timur, pada tanggal 1-5 Agustus 2015, “Meneguhkan Islam Nusantara untuk Peradaban Indonesia dan Dunia”.

Selain Jokowi, dukungan juga disampaikan oleh Wakil Presiden Jusul Kalla, yang sering memakai istilah Islam Indonesia. Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin ikut menyambut gagasan Islam Nusantara ini dalam acara buka bersama dengan Ikatan Alumni PB PMII di Jakarta, Minggu, 28 Juni 2015.

Lukman Saifuddin menerangkan wacana Islam Nusantara yang belakangan menjadi gagasan sebagian umat mengenai identitas Islam di Indonesia kini tengah menjadi perbincangan di dunia internasional. Dunia seakan tengah menempatkan Islam Indonesia sebagai model peradaban Islam modern. “Istilah Islam Nusantara kini menjadi sebuah wacana yang mendunia sekarang, di banyak perguruan tinggi ternama di Eropa maupun di Amerika. Islam Nusantara menjadi diskursus dan akan menjadi sebuah term.”

Namun ia meminta agar istilah Islam Nusantara terus didalami karena ia mengkhawatirkan istilah ini akan dianggap sebagai pandangan atau faham yang justru bisa kontra produktif kalau tidak kita jelaskan dengan baik. Bisa-bisa Islam Nusantara dimaknai  sebagai upaya  memecahbelah atau mengotak-kotakan  Islam, yang pada hakekatnya satu. “Ini tentu adalah tugas kita semua untuk bisa menjelaskan  secara lebih gamblang, apa esensi, apa substansi dari istilah tersebut,” pinta Menteri Agama waktu itu. (portal kemenag.go.id)

Islam Nusantara pun bergulir ke publik. Diberitakan media-media dan menjadi percakapan di media-media sosial, facebook, twitter, blog, grup diskusi WhatApp, BlackBerry dan lainnya dengan bermacam tanggapan, baik yang pro maupun kontra.

Sambutan dari Amerika Serikat

Sambutan terhadap Islam Nusantara datang dari komunitas muslim di Amerika Serikat yang mengadakan diskusi antara para pemuka agama, pengamat, diplomat, serta tokoh masyarakat di kantor pusat Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York, Amerika Serikat.

Diskusi yang diprakarsai Perwakilan Tetap Republik Indonesia di PBB, Nusantara Foundation dan Dompet Dhuafa mengangkat tema Islam Nusantara. Islam Nusantara dijadikan contoh bagi negara-negara dunia untuk menunjukkan keragaman, toleransi dan demokrasi.

Salah seorang pembicaranya adalah Dr. James B. Hoesterey dari Universitas Emory di Atlanta, Georgia, ia mengatakan “Sebagai seorang antropolog yang sudah lama melakukan penelitian di Indonesia, saya senang bahwa dunia luar dan wakil-wakil serta duta besar dari negara masing-masing dapat mendengarkan sedikit lebih dalam mengenai Islam di Indonesia yang mungkin tidak sama dengan Islam di negara mereka, misalkan Arab Saudi. Kalau kita lihat ke depan, mungkin Indonesia bisa menjadi contoh bagi seluruh negara.”

Dr. Chiara Formichi, pakar sejarah Islam di Indonesia, dari Universitas Cornell di Ithaca, New York, mengatakan “Gagasan Islam Nusantara sangat erat dengan budaya dan sejarah Indonesia. Saya tidak tahu bisa diterapkan di negara lain atau tidak, tetapi yang jelas bisa menjadi contoh untuk mengerti mengapa seseorang memeluk Islam. Ada banyak cara untuk memahami Islam dan banyak cara untuk berinteraksi dengan non Muslim. Muslim di sana juga punya banyak pengalaman berbeda. Jadi ada banyak pelajaran yang bisa dipetik.” (voaindonesia.com 7 Juli 2015).

Setelah menjadi wacana publik, Islam Nusantara dibahas dari perspektif yang beragam, sekaligus beragam tanggapan, baik yang pro dan kontra. Kekhawatiran Menteri Agama bahwa istilah ini bisa dianggap sebagai memecah belah Islam yang hakikatnya satu mulai terbukti dengan munculnya alasan kubu yang menolak dengan nada yang sama seperti yang dikhawatirkan Menteri Agama. Kontroversi terletak pada istilah “Islam Nusantara”, yang dituding sebagai penjelmaan Islam jenis baru—yang sampai saat ini kesalahpahaman ini diteruskan dan disebarluaskan. Pun juga komentar KH Said Aqil terhadap istilah “Islam Arab” yang menohok gerakan pemurniaan Islam melakukan gerakan lebih ke arabisasi daripada islamisasi.

Dalam konteks ini, anjuran Menteri Agama untuk menjelaskan dan mengisi makna Islam Nusantara menemukan relevansinya. Apakah Islam Nusantara hanya satu model, seperti yang dibayangkan oleh kalangan Nahdliyin yang mempromisikannya? Bagaimana dengan “Islam-Islam lain” yang dipahami oleh ormas-ormas keislaman yang ada, atau Islam di luar Jawa yang menjadi basis kalangan Nahdliyin? Apakah hanya berkaitan dengan sejarah lama, ketika penjelasan lebih lanjut dari kalangan Nahdliyin Islam Nusantara ini merujuk pada era Wali Songo? Bagaimana dengan nilai-nilai keindonesiaan, dan masa depan Islam di Indonesia itu sendiri? Apa relevansinya Islam Nusantara untuk konteks saat ini dan mendatang? Bagaimana mempromosikan Islam Nusantara? Siapa saja yang mendukung, sekaligus yang menolaknya? Apa tantangan-tantangan Islam Nusantara di masa datang?

Islam Nusantara Bukan [Hanya] Islam di Nusantara

“Islam Nusantara” memiliki perbedaan dari “Islam di Nusantara”. Nusantara pada istilah yang pertama adalah sifat, dalam bahasa pesantren disebut “mudhafun ilaihi”—ia mensifati kata Islam, dalam istilah lain, “Islam Nusantarawi”. Sedangkan istilah kedua: Islam di Nusantara hanya menunjukkan Nusantara hanya sebagai tempat saja yang tidak memiliki hubungan, apalagi pengaruh terhadap Islam. Oleh karena itu “Islam Nusantara” bisa dipahami Islam dengan corak, warna, kekhasan, keunikan, karakter, budaya Nusantara.

Lantas, apa Nusantara itu? Di sini Nusantara tidak menunjuk pada satu model, corak, atau budaya yang seragam, namun menunjuk pada keragaman yang ada di pulau-pulau Nusantara. Karena Nusantara merupakan kumpulan dari pulau-pulau, yang tidak kurang dari 17.000 pulau. Nusantara adalah nama yang pernah diajukan oleh Ki Hajar Dewantara untuk menyebut wilayah Indonesia masa kini. Nusantara disebut Mpu Prapanca dalam “Kakawin Nagarakretagama” sebagai wilayah kekuasaan Kerajaan Majapahit meliputi Jawa, Sumatra, Semenanjung Malaya, Borneo, Sulawesi, kepulauan Nusa Tenggara, Maluku, Papua, dan sebagian kepulauan Filipina.

Maka, Nusantara bukan Jawa, malah Nusantara dari nama aslinya: “nusa” (pulau) “antara” (lain/seberang) yakni pulau-pulau di seberang Jawa. Penyebutan Nusantara ini pula yang terkait dengan Kerajaan Majapahit untuk mengingatkan kita akan kebesaran masa lalu bangsa ini. Bangsa yang besar dan pernah berjaya.

10 Warisan Historis dan Geografis yang Membentuk “Jari Diri” Nusantara

Nusantara adalah bentangan wilayah dan sejarah. Nusantara adalah akumulasi dari serpihan-serpihan peradaban (tarakumat min raqa’id al-hadlarat). Nusantara memiliki akar-akar sejarah dan pengaruh wilayah/kawasan yang multikultural dan multihistoris.

Saya ingin menyebut ada 10 karakter yang membentuk “jati diri” Nusantara yang berasal dari (1) pengaruh sejarah dan (2) letak geografis (kawasan). 5 karakter merujuk pada pengaruh sejarah, 5 karakter berasal dari pengaruh kawasan. Inilah akar historis dan geografis yang membentuk “jati diri” Nusantara.

Lima pengaruh sejarah:

Era KUNA. Era ini sering disebut Pra-Hindu-Buddha yang berasal dari kepercayaan, adat, dan budaya kuno yang “asli” Nusantara. Era ini mempercayai segala macam arwah, kekuatan magis pada alam dan benda. Sering pula disebut “animisme dan dinamisme”. Di Jawa dikenal kepercayaan Kapitayan dengan sosok mitologis Danghyang Semar. Kapitayan digambarkan suatu keyakinan yang memuja sembahan utama bernama Sanghyang Taya, yang bermakna Hampa, Kosong, Suwung—kata Jawa kuna ini terpelihara dalam bahasa Sunda, Teu Aya. Kepercayaan kuna ini sampai sekarang masih dianut oleh masyarakat-masyarakat adat, seperti Kaharingan di suku-suku Dayak, Kalimantan, Buhun, Sunda Wiwitan, di Jawa Barat, Tonaas Walian, Minahasa, Sulawesi Utara, Tolottang dan Patungtung, Sulawesi Selatan, Naurus, Pulau Seram Maluku, Marapu, Sumba, Parmalim, Sumatera Utara, dan banyak lagi kepercayaan-kepercayaan lainnya.Era HINDU-BUDDHA. Era yang dikenal sebagai peradaban melalui kerajaan-kerajaan yang ada di Nusantara, mulai Salakanagara (abad ke-2 M), Tarumanagara (abad ke-4 M) di Jawa Barat, Kutai (abad ke-4 M) di Borneo, Kalingga (abad ke-6 dan 7 M) dan Mataram Kuna (752-1045 M) di Jawa Tengah, Kahuripan-Jenggala-Kadiri-Singasari (1019-1292 M) di Jawa Timur, Dharmasraya (1183-1347 M) di Sumatera Barat dan dua kerajaan besar Sriwijaya (600-1100 M) di Sumatera Selatan dan Majapahit (1292-1527 M). Sriwijaya beragama Buddha dan Majapahit beragama Siwa-Budhha.Era ISLAM. Agama Islam dipercaya sudah tiba ke bumi Nusantara sejak era awal Islam, abad ke-7 M. Bukti-bukti arkeologis ditemukan makam Fatimah binti Maimun di Leran Gresik (1082 M), Sultan Malik Shalih di Aceh Utara (1297 M), Syaikh Maulana Malik Ibrahim, Gresik (1419 M), namun yang perlu dicatat, dari abad ke-7 M hingga pertengahan abad ke-15, Islam belum dianut secara luas oleh penduduk Nusantara, baru pada era dakwah Islam yang dipelopori oleh jaringan tokoh-tokoh sufi yang dikenal dengan Wali Songo, Islam tersebar luas khususnya di tanah Jawa. Islam dengan cepat terserap ke dalam asimilasi dan sinkritisme Nusantara. Setelah Kerajaan Majapahit runtuh, muncul kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara, mulai Demak, Cirebon di Jawa, Kutai Kartanegara di Kalimantan, Gowa dan Buton di Sulawesi, Ternate dan Tidore di Maluku dan lain-lainnya. Kesuksesan dakwah para Wali Solo terletak pada strategi mereka yang menekankan kesinambungan ajaran Islam dengan ajaran dan tradisi sebelumnya, sehingga tidak terlihat asing, hal ini memungkinkan karena ajaran Islam yang dianut oleh Wali Songo adalah Islam Sufistik yang lebih mementingkan ajaran esoteris (hakikat, ruh, subtansi) daripada yang eksetoris (simbolis, lahir, artifisial). Era ini yang disebut Ricklefs sebagai “Sintesis Mistik” antara ajaran Islam dengan kepercayaan-kepercayaan lokal. Setelah era ini muncul ikhtiar pembaruan dalam bentuk “neo-sufisme dan syariat (fiqih)” melalui jaringan ulama Nusantara yang baru pulang dari Haramayn (Makkah-Madinah) pada abad ke-17 dan 18 M. Namun pembaruan ini bisa disebut sebagai pembaruan yang terbatas. Pada era ini, awal abad ke-19 M muncul “pembaruan yang radikal” di Sumatera Barat dengan kepulangan 3 orang Haji dari Makkah yang melihat dakwah dan kejayaan Kaum Wahhabi-Saudi pada Dinasti Saudi pertama. Gerakan ini menimbulkan konflik antara kaum Padri dan Kaum Adat yang berujung perang.Era KOLONIAL dan EROPA. Era ini dimulai awal abad ke-16 dengan Portugis (1509M) dan Spanyol (1521 M). Portugis yang gagal menguasai Jawa dan terdesak oleh Belanda melakukan kolonialisasi di Indonesia bagian Timur, berbagi dengan Spanyol—VOC (1602-1800 M), Belanda (1816-1942 M) dan Jepang (1942-1945 M). Pada era ini hadir di bumi Nusantara agama Katholik (1546 M) dan Kristen Protestan (abad ke-16 M). Yang penting dari era ini adalah pengaruh modernisme yang dimulai dari nilai-nilai modern dalam budaya kehidupan sehari-hari pendidikan, agama, budaya, gaya hidup, transportasi, hingga cara pikir yang mengedepankan rasionalitas. Tiga kandungan utama dari modernisme adalah teori dan praktik kapitalisme, industrialisasi dan negara bangsa. Pengaruh lain dari era ini adalah Politik Etis: irigasi, edukasi dan transmigrasi ditandai dengan adanya perubahan-perubahan dan kemajuan, khususnya edukasi dengan munculnya “priyayi baru” dari pribumi dengan dibukanya sekolah-sekolah di Hindia Belanda dan pengiriman siswa-siswa pribumi ke Belanda, pengaruh ini sangat kuat pada tokoh-tokoh kebangkitan nasional dan kemerdekaan Indonesia khususnya pada kelomok “muslim modernis”.Era INDONESIA. Dimulai dari Periode Kebangkitan Nasional pada awal abad ke-20 dengan berdirinya organisasi-organisasi, lembaga pendidikan, media pers yang membangkitkan kebangsaan dan persatuan Indonesia yang bercita-cita kemerdekaan Indonesia yang terwujud dalam Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 yang bisa disebut Hari AntiDiskriminasi yang mengakui satu tanah air, satu bangsa, satu bahasa Indonesia. Hari lahir Pancasila, 1 Juni 1945. Puncak dari era ini adalah Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945. Lahirnya Konstitusi Indonesia: UUD 1945 tanggal 18 Agustus 1945 setelah melalui proses yang panjang dan perubahan sejak Juni-Agustus 1945 (melewati Piagam Jakarta dan lain-lain sebagainya). Prinsip-prinsip penting yang lahir dari periode ini adalah: (1) kebangsaan (nasionalisme) Indonesia, (2) Pancasila sebagai dasar negara, (3) Undang-Undang Dasar 1945 sebagai konstitusi negara, (4) Negara Kesatuan Republik Indonesia, (5) Bhinneka Tunggal Ika.

Lima pengaruh kawasan geografis:

Pengaruh ETNIS atau SUKU BANGSA yang terindentifikasi berdasarkan persamaan garis keturunan, ras, bahasa, agama, budaya, perilaku dan ciri-ciri biologis. Identitas etnis yang kuat apabila mendiami suatu wilayah khusus (misal pulau). Etnis akan mencair kalau tinggal di kawasan yang majemuk dan terjadi percampuran, misalnya di wilayah urban dan perkotaan. Etnisitas tidak selalu “asli” karena sering hasil dari interaksi dan hasil dari pengaruh yang berasal dari luar kelompok dan bukan sifat-sifat hakiki sebuah kelompok (misalnya ada etnis hasil dari “campuran”: Betawi) salah satu faktor yang berpengaruh pada etnisitas adalah kolonialisme yang demi kepentingan administratif pemerintah kolonial telah mengotak-kotakkan warga jajahan ke kelompok etnis dan ras, dan masih bertahan hingga sekarang. Salah satu contoh yang disebut “etnis Jawa” di mana mereka berada? Padahal “Jawa Solo” dan “Jawa Jogja” diakui berbeda, apalagi dengan Banyumasan, pesisir atau dengan Jawa Timur. Jumlah etnis di Indonsia lebih dari 1000 suku, yang mayoritas telah mengalami percampuran dan pengaruh dari luar. Suku yang masih berusaha mempertahankan “kemurnian” baik dari sisi keturunan, keyakinan, bahasa, budaya, prilaku disebut masyarakat adat.Pengaruh budaya dari kawasan yang sekarang disebut “ASIA TENGGARA” yang dimulai sejak era-pra sejarah, saling pengaruh datang melalui pesisir-pesisir yang bisa disebut kebudayaan maritim, perpindahan penduduk, kemiripian tradisi keyakinan, agama, sastra, adat yang menujukkan “satu rumpun Asia Tenggara” yang disebut sebagai “Peradaban Pesisir” (Adrian Vickers, 2009). Pengaruh kuat dari Champa (Vietnam sekarang) terhadap gelombang islamisasi era Wali Sanga (abad ke-15 M). Kemiripan adat dan bahasa dalam satu suku bangsa (misalnya suku Melayu di Sumatera, Malaysia, Brunei, dan Patani di Thailand Selatan). Bahasa Melayu yang menjadi akar bahasa Indonesia setelah sebelumnya menjadi lingua franca di Nusantara.Pengaruh budaya dari kawasan India dan kawasan “ANAK BENUA INDIA” yang disebut Asia Selatan. Peradaban India memiliki pengaruh terhadap kawasan Nusantara, baik dari agama, sastra, bahasa dan budaya yang terwujud dalam Kerajaan-Kerajaan Hindu-Buddha, peninggalan candi-candi, dan adat istiadatnya yang masih melekat dalam masyarakat saat ini. Anak Benua India memiliki pengaruh terhadap datangnya Islam ke Nusantara, seperti Gujarat, Malabar, Sailan (Srilangka), Bangla (Bangladesh).Pengaruh dari kawasan TIONGKOK. Kawasan Tiongkok yang memiliki hubungan dagang dengan Nusantara sejak abad ke-3 M yang warisannya masih bisa kita saksikan saat ini, dari agama Buddha dan Islam (adanya para juru dakwah Islam awal di Nusantara berasal dari Tiongkok), peninggalan bentuk arsitektur (pada masjid-masjid kuna; Masjid Demak, Masjid Kasepuhan Cirebon, Masjid Kudus), budaya dan adat istiadat.Pengaruh budaya dari kawasan ARAB, PERSIA dan TURKI. Ini tampak pada aspek agama dan budaya yang menjadi teori masuknya Islam ke Nusantara dengan versi: dari tanah Arab dan Persia. Tanah Arab yang dimaksud, Haramayn (Makkah, Madinah), Mesir, dan Hadramaut (Yaman). Pengaruh Persia dalam bentuk budaya dan aliran agama Syiah. Sementara Turki melalui Kerajaan Utsmani dengan Kerajaan Aceh dan Demak yang puncaknya perlawanan terhadap Kolonialisme di Nusantara, khususnya terhadap Portugis.

Tidak ada istilah yang tepat untuk menunjukkan keragaman identitas di Nusantara—baik dari pengaruh sejarah dan kawasan—selain istilah bhinneka. Nusantara adalah berbeda-beda, beraneka-ragam. Nusantara tidak mengenal identitas yang tunggal, identitas Nusantara adalah bhinneka. Nusantara menunjukkan multikultural dan multihistoris. [Islampers.com]

Sumber: M Guntur Romli, Kader GP Ansor

Kitainisama.com  #KitaIniSama
Advertisement

Tidak ada komentar

Silahakan berkomentar sesuai artikel