Tiga Kiai Bergantian Memberikan Kata Sambutan Di Haul Gus Dur
GUS DUR (ISTIMEWA) |
Islampers.com
Tiga kiai bergantian memberikan kata sambutan. Satu di antaranya adalah KH Salim Azhar, Rais Syuriah Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama Lamongan, Jawa Timur. Sesepuh yang juga Mursyid Thariqat As Sadziliyah ini masih kuat berdiri lama ketika berceramah.
Namun, ketika tiba giliran saya menyampaikan mauidhah hasanah, beberapa anggota Banser setempat mengangkat sebuah kursi besar ke panggung. Saya duga, kursi itu sengaja disiapkan untuk saya.
Saya memilih tak mendudukinya. Tanpa kursi pun, saya niscaya jelas terlihat dari bawah. Ya, para kiai, pemain rebana dan jidor, dan saya memang berderet duduk di atas panggung yang tinggi.
Masjid dan kawasan makam Sunan Sendang Duwur menjadi latar belakang. Ratusan jamaah berjajar rapi di pelataran. Pengajian pada Senin lalu itu untuk menutup serangkaian kegiatan Hari Santri 2018 sekaligus Haul ke-9 KH Abdurrahman Wahid.
Buat apa kursi disiapkan khusus untuk saya?
Jangankan untuk duduk di sofa empuk, bahkan untuk berdiri di depan para kiai saja saya tak bernyali. Terlebih, berdiri untuk menyampaikan pesan agama dan mengutip dalil. Niscaya, para kiai lebih luhur keilmuan dan pengalamannya.
Tak ada yang bisa saya katakan mengawali ceramah selain bertutur, ”Saya ini santri. Murid. Beliau-beliau ini kiai. Bahkan Kiai Salim ini mursyid. Saya sangat percaya dan takut pada kualat.”
Lebih dari itu, saya meyakini adab berada di atas ilmu.
Kursi itu memang diletakkan tidak persis di depan deretan para kiai, syukurlah, tapi di sudut kanan panggung. Di dekat tiang mikrofon. Setelah mengambil pelantang suara, saya bersila di sisi kiri bawah kursi.
“Saya dikelabui Gus Syahrul Munir. Dia mengundang saya untuk bertemu teman-teman NU dan Gusdurian. Andaikan sejak awal tahu acaranya sebesar ini, saya tidak akan bersedia berbicara,” kata saya. Tapi, karena telanjur, akhirnya saya sampaikan beberapa hal dalam pengajian tersebut.
Kesatu, saya tak tahu apa-apa, juga soal Gus Dur. Sepanjang hayat Gus Dur, saya bukan orang yang berada di lingkarannya. Saya seperti orang-orang kebanyakan di jarak pandang yang sangat mungkin bias.
“Lagi pula, tidak ada yang lebih tahu di antara kita. Yang ada, yang lebih dulu tahu,” ujar saya.
Bisa jadi hari ini anda belajar dari saya, dan besok saya belajar dari anda. Niscaya, inilah spiritualitas paling mendasar yang dimiliki Gus Dur dan hingga kini masih menanti penerus.
Kita telanjur menjadi sekumpulan orang-orang sok tahu. Merasa lebih tahu dan suka memaksakan pengetahuan kepada orang lain. Padahal, bukankah sebanyak-banyak yang kita tahu, masih jauh lebih banyak yang kita tidak tahu?
Buruknya lagi, kita menjadi gemar bersikap curiga pada orang lain, terutama pada mereka yang berseberangan dengan kita, dan merasa berhak tahu segala hal tentang oposan kita. Sampai-sampai tak bisa lagi menahan diri untuk tidak merasa benar.
Kurang genius apa Gus Dur? Tapi ia terus belajar, membaca buku meski memiliki keterbatasan penglihatan, mendengar suara rakyat terutama kaum minoritas, sangat menghormati dan patuh kepada para kiai — yang kemudian disebutnya sebagai kiai kampung — bahkan merasa perlu menjaga komunikasi dengan leluhur yang telah wafat, dengan berziarah.
Itu semua, saya duga, karena Gus Dur tidak merasa paling tahu di antara kita. Oleh karena itu, Gus Dur terus mencari tahu.
Kedua, saya tidak mempunyai apa-apa. Saya ini kepunyaan Allah. Dipunyai oleh Allah. Saya bukan pemilik. Allah-lah Yang Maha Memiliki segala sesuatu. Itu yang saya pelajari dari sosok Gus Dur.
Oleh Gus Mus, sahabatnya, Gus Dur disebut tidak pernah pegang dompet, apalagi punya uang. Alisa Wahid, putrinya, juga bercerita betapa Gus Dur pernah pinjam uang kepadanya. Padahal, di pihak lain, Gus Dur sering memberikan uang dalam jumlah banyak kepada banyak orang.
Al Ngatawi Zastrouw, asistennya di kala itu, kesal melihat ada saja orang yang memanfaatkan kebaikan Gus Dur untuk mengeruk uang.
Dia pernah mengeluh, ”Gus, orang-orang itu menipu sampeyan. Apa sampeyan tidak tahu?”
Tak dinyana, jawaban Gus Dur membanting logika Zastrouw, “Lha mereka sudah berusaha menipu, mosok aku tidak tertipu?”
Nah, kesadaran tidak mempunyai apa-apa ini yang membuat Gus Dur tak merasa perlu mati-matian mempertahankan kursi.
Kekuasaan ialah kepunyaan Allah semata. Percuma saja memperebutkannya karena Allah yang berkuasa mutlak memberikan kekuasaan kepada siapa pun yang Dia kehendaki dan mengambilnya dari siapa pun yang Dia Kehendaki (Q.S. Ali Imran 3:26). Allah jugalah yang memuliakan dan menghinakan siapa yang dikehendakiNya.
Gus Dur tidak mau kehilangan akal sehat, apalagi sampai dikuasai hawa nafsu, demi kekuasaan. Baginya, yang lebih penting daripada politik adalah kemanusiaan.
Ketiga, saya tidak bisa apa-apa. Uraian saya ini, lagi-lagi, terinspirasi dari Gus Dur. Betapa sering dia mengatakan bahwa apa-apa yang dilakukannya atau tidak dilakukannya adalah pelaksanaan dari perintah para kiai.
Termasuk menjadi Presiden Republik Indonesia, Gus Dur bersedia lantaran disuruh kiai. Mundur pun, manut apa kata kiai. Dan, Gus Dur menikmati semua itu tanpa melepaskan diri dari humor.
“Maju saja harus dituntun kok disuruh mundur,” selorohnya.
Betapa berat untuk menjadi seringan itu?
Menyadari tidak bisa berbuat apa-apa tanpa pertolongan Allah, Gus Dur pun semakin menyadari perannya menerima siapa pun yang butuh pertolongan--lebih-lebih dari kelompok yang tidak lagi bisa berbuat apa-apa. Dia merangkul kaum minoritas tanpa takut pada stempel yang dibubuhkan manusia.
Pada era Gus Dur, negara resmi mengakui agama Konghucu. Dia tidak sedang memburu kursi ketika melakukan semua itu, tapi sedang memperjuangkan kesetaraan.
Sepanjang hidupnya, Gus Dur tak kenal lelah mendatangi orang banyak. Jumat malam lalu, sebagaimana malam-malam yang telah lalu di bulan Desember, giliran orang banyak yang akan mendatanginya.
Ya, Jumat malam, 21 Desember, 2018 dihelat Haul ke-9 Gus Dur di Ciganjur, Jakarta Selatan. Sungguh pun tak perlu menanti akhir tahun karena tiap hari ribuan orang tak pernah berhenti menziarahi makam Gus Dur di Tebu Ireng Jawa Timur, haul menjadi penting untuk mengenangnya.
Gus Dur memang sosok istimewa yang tak tergantikan. Kita tidak akan pernah merasa cukup untuk merindukannya.
Di hati kecil kita, yang kita tunggu-tunggu adalah kelahiran Gus Dur baru. Namun, Gus Dur hanya lahir satu kali.
Karena itu, akan lebih baik jika masing-masing dari kita menjadi Gus Dur-Gus Dur berikutnya yang menebarkan harapan, mengasihi satu sama lain, dan memperjuangkan kebaikan. Menerima dan melanjutkan estafet Gus Dur rasanya lebih relevan.
Di setiap haul Gus Dur di mana-mana, banyak kiai yang mengatakan, hingga kini Gus Dur belum ditanyai malaikat karena kuburannya tak pernah sepi penziarah. Memang, ia genap dalam memiliki daya hidup, daya tahan, daya lawan, dan daya mati sehingga namanya seolah tak akan pernah surut dari perhatian.
Daya hidup itu adalah iman, daya tahannya Islam, daya lawannya ihsan, dan daya matinya ikhlas. Wajar kalau kemudian ada yang menyebut Gus Dur Wali Allah.
Abdurrahman Wahid tak pernah benar-benar wafat. Ia hidup di hati kita. Jangan disangka orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati karena mereka hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezeki (Q.S. Ali Imron 3:169).
Meski raganya telah dibaringkan di liang lahat, jiwanya terus menginspirasi siapa pun. Pemikirannya masih dimanfaatkan. Energinya masih terasa sampai hari ini. Para politisi masih menggunakan namanya untuk meraih legitimasi.
Ila ruhi Gus Dur, lahul Fatihah.
Candra Malik, budayawan sufi.
Artikel ini juga Telah Terbit di Beritagar.id
Advertisement
Baca juga:
Komentar