Surat Cinta untuk Presiden Indonesia Joko Widodo
Islampers.com - Magelang
Salam hangat, Ir. H. Joko Widodo dan Prof. Dr. K.H. Ma'ruf Amin selaku Presiden dan Wakil Presiden RI Tahun 2019-2024. Semoga selalu dalam keadaan sehat wal afiat tanpa kurang suatu apapun.
Perkenankan saya Vinanda Febriani, Mahasiswi Studi Agama-Agama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menyampaikan sebuah pesan cinta untuk Presiden, para pejabat baik di tingkat Pusat maupun di tingkat daerah, serta para penguasa dan para aparatur negara di Indonesia.
Pertama-tama saya ingin menyatakan sikap tegas menolak --betul-betul menolak-- wacana pemerintah memulangkan 660 eks WNI Kombatan ISIS dari Suriah. Selain buang-buang anggaran, sangat tidak sepantasnya membela ISIS dengan mengatasnamakan HAM. Bagaimana mungkin kita sebagai WNI yang patuh dan setia terhadap negara, memberikan peluang kembali kepada para pelaku kriminal dan penjahat HAM yang selama ini telah membunuh banyak nyawa serta telah mengkhianati negara?
Saya harap Bapak masih ingat bagaimana bengisnya tragedi Bom di 3 Gereja di Surabaya beberapa tahun silam, juga tragedi bom Thamrin yang menewaskan 4 warga sipil dan melukai setidaknya 25 orang. Teror lain serupa yang dilakukan oleh simpatisan bahkan anggota jaringan ekstrimis ISIS sangat banyak dan beraneka ragam. Mulai dari pemenggalan, pembunuhan dengan bom, serangan senjata api, perbudakan hingga perkosaan. Soal ini saya yakin BNPT lebih paham.
Para korban tindakan brutal ISIS di Indonesia belum banyak yang pulih 100%. Sebagian dari mereka masih mengalami trauma psikologis jika diingatkan dengan peristiwa keji yang mereka alami. Sampai saat ini, para korban masih butuh pendampingan dan penguatan agar tetap tegar dalam menjalani kehidupan.
ISIS sendiri merupakan kelompok ekstrimis jihadis terkaya di dunia, meskipun masih dalam kategori kelompok baru. Seorang pakar dari Geneva Centre for Security Policy (dikutip dari Tempo.co) pernah mengatakan bahwa 10 wilayah pertambangan minyak di seluruh Irak dan Suriah dikendalikan oleh para begundal ISIS. Mereka juga merupakan kelompok ekstrimis paling bengis dan disegani dunia. ISIS pernah mengklaim selama bulan Ramadhan 2016, mereka telah membunuh sebanyak 800 orang. Jumlah yang tentu saja sangat mengejutkan. Tak heran jika ISIS dikategorikan sebagai organisasi teroris internasional dan menjadi musuh banyak negara. Saya yakin Bapak Presiden lebih paham tentang hal tersebut.
2016 lalu viral di sosial media video pelatihan militer anak-anak ISIS yang disusul dengan pembakaran passport Kewarganegaraan mereka. Terlihat ada beberapa passport dari Indonesia. Tentu ini menjadi bukti valid bahwa para begundal ISIS sudah tidak mau mengakui NKRI dan telah berkhianat. Sangat buang-buang energi dan pikiran jika negara membela mereka atasnama HAM.
Kalau memang pemerintah terus bersikukuh ingin memulangkan para pengkhianat itu, perlu banyak pertimbangan soal program deradikalisasi yang mana di Indonesia sendiri program tersebut masih belum berjalan optimal. Patut pula pemerintah mempersoalkan banyaknya WNI yang protes terkait kebijakan irasional tersebut.
Kedua saya ingin menyampaikan problem bersama terkait intoleransi yang terus-terusan "menghantui" anak negeri. Portal BBC berdasarkan survei yang dibuat oleh Setara Institute (2019) melaporkan ada setidaknya 200 kasus penolakan Gereja dan rumah ibadah lain di Indonesia selama 10 tahun terakhir. Sedangkan Tirto.id (2019) mencatat ada setidaknya 32 kasus penutupan Gereja selama 5 tahun terakhir. Jumlah yang tentu saja membuat kita sebagai WNI mengelus dada. Dari sekian banyak kasus, sebagian besar hingga saat ini masih belum teratasi dengan baik. Intoleransi juga kian hari kian parah. Sayangnya memang pemerintah belum bisa bersikap tegas dalam menindak para pelaku intoleran tersebut. Dibarengi dengan penegakkan hukum di Indonesia yang masih sering tebang pilih, terlihat kuat dihadapan minoritas namun lemah dihadapan mayoritas. Faktanya seringkali penegakkan hukum bisa diintervensi oleh oknum/ sejumlah massa. Miris, akan tetapi begitulah kenyataannya.
Dalam beberapa kali seminar, Brigjend Hamli selaku Direktur Pencegahan Terorisme BNPT selalu menampilkan slide yang menunjukkan tingkatan-tingkatan menuju terorisme, paling rendah ditampilkan adalah intoleransi. Artinya ketika pemerintah hendak mengatasi problem terorisme dan radikalisme, maka pemerintah juga harus tegas menindak para pelaku intoleran yang selama ini menjadi momok bagi sebagian kalangan.
Saat kampanye 2014 lalu, Bapak Joko Widodo beserta Pak Jusuf Kala menjanjikan akan menindak tegas para pelaku intoleransi. Namun kenyataannya hingga saat ini intoleransi masih kerap terjadi. Begitu pula saat kampanye periode kedua (2019) lalu, Bapak juga menjanjikan kepada kami atas "Perlindungan bagi segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga." Namun pada kenyataannya hingga saat ini masih ada sebagian pemeluk agama yang merasa takut akan tindakan represif aparat negara, ketidak adilan hukum dan disusul masalah-masalah intoleransi.
Jika merujuk pada poin pertama Pemerintah ingin memulangkan 660 eks begundal ISIS ke Indonesia, maka tindakan yang dilakukan Pemerintah harus menyelesaikan dulu permasalahan intoleransi dan radikalisme di Indonesia. Selesaikan dulu IMB rumah ibadah yang bermasalah dan masalah perizinan yang ruwet. Setelah semua selesai, silakan saja apabila eks ISIS hendak dipulangkan ke Indonesia. Tentu saja pemulangan dengan syarat2 tertentu sebagaimana kebijakan deradikalisasi yang selama ini gencar dipromosikan pemerintah. Supaya permasalahan terkait humanisme (kemanusiaan) tidak tumpang tindih. Dilain sisi pemerintah memulangkan eks begundal ISIS karena HAM, dilain sisi pula pemerintah mengabaikan seabrek kasus HAK Konstitusional kebebasan beragama di Indonesia. Kan tidak lucu?
Akhirnya saya memohon respon cepat pemerintah baik Puat maupun Daerah dalam menangani seabrek kasus intoleransi tersebut supaya tidak terus tumbuh dan mengakar mengganggu stabilitas Indonesia sebagai negara berkembang.
Sangat sayang jika melihat kasus sebagaimana terjadi pada jemaat GKI Yasmin, HKBP Filadelfia, GBI Tlogosari Semarang, Gereja Katholik Paroki Santo Joseph Karimun dan rumah ibadah lainnya yang terpaksa tidak bisa ditempati akibat tekanan oknum masyarakat. Saya harap pemerintah lebih konsen menangani seabrek kasus demikian. Karena menurut saya, intoleransi merupakan salah satu faktor penghambat majunya peradaban bangsa dan negara Indonesia. Tidak ada option lain selain melawan. Memberikan peluang kepada para pelaku intoleransi sama artinya sedang membiarkan perlahan bangsa ini mengalami kemunduran dan masa kegelapan. Masa dimana "Yang menang yang di depan, yang kalah yang ditindas". Yang menang tentu saja mereka yang jumawa dan beranggapan mereka sebagai mayoritas, sedangkan yang kalah adalah para minoritas yang jangankan beribadah, beragama, bahkan hidup saja mereka dianggap salah. Padahal kata orang, Indonesia negara Berbhinneka Tunggal Ika dan Berpancasila, namun pada kenyataannya kelakuan sebagian oknumnya amat jauh dari dua dasar tersebut. Lantas, mau disebut apa negara ini?
Saya harap Bapak Presiden, Wakil Presiden berserta seluruh jajaran pemerintahan baik di pusat maupun daerah senantiasa peka terhadap permasalahan-permasalahan di daerah pimpinannya, terutama permasalahan yang menyangkut HAM, itu harus diutamakan untuk segera dituntaskan. Selama ini penanganan seabrek kasus HAM selalu molor tidak tepat waktu dan sangat mengecewakan. Semoga pemerintah selalu peka dengan kewajibannya mengayomi segenap bangsa Indonesia.
Terima kasih,
Saluti di pace.
Semoga kedamaian senantiasa menyertai kita semua.
Magelang, 7 Februari 2020.
Advertisement
Baca juga:
Komentar