Catatan untuk Tengku Zulkarnaen dan Haikal Hassan

Foto Istimewa

Islampers.com - Jakarta
Melihat dan mendengarkan video viral Ust Tengku Zulkarnain mengingatkan saya pertama kali belajar kitab "amtsilatut tashrif", sebuah kitab kecil yang mempelajari ilmu shorof 30 tahun yang lalu. Saya mendapatkan warna merah dengan angka 5 di rapor.

Ilmu Shorof merupakan ilmu tata bahasa Arab yang paling penting karena menjadi pedoman untuk mengetahui "shighot" (bentuk kalimat), tashgir, nisbat, jamak, I’lalnya, ibdalnya dan lain sebagainya.

Sementara secara bahasa shorof secara bahasa adalah berubah atau mengubah, yaitu mengubah dari bentuk aslinya kepada bentuk yang lain. Di pesantrem selqin ilmu shorof, ada pula ilmu nahwu.

Hubungan antara ilmu Shorof dan Ilmu Nahwu tidak dapat dipisahkan bagaikan seorang Ibu dan bapak yaitu saling membutuhkan dan melengkapi sebagaimana maqolah :

 اَلصَّرْفُ أُمُّ الْعُلُوْمِ وَ النَّحْوُ أَبُوْهَا

“ Ilmu Shorof adalah ibu atau induk segala Ilmu sedangkan Ilmu Nahwu adalah bapaknya “

Bagi saya, ilmu shorof merupakan ilmu yang lumayan susah namun ada teknik mempelajari ilmu ini, yaitu dengan cara menghafal dan memperhatikan bentuk katanya. Sehingga untuk menghafalkan sebuah acara harus tahu wazan dari kata yang akan di lafalkan (tasrif istilahi).

Catatan untuk Ustaz Haikal Hasan yang tidak bisa membedakan pengertian bentuk tunggal dari kata kafir (الكافر) dari bentuk jamaknya, kuffar (الكفار).

Kata "kafir" dan "kuffar" memang berbeda, kata pertama merupakan bentuk tunggal (singular) sementara kata yang kedua merupakan bentuk jamak (plural). Keduanya memiliki arti yang sama bedanya hanya bentuknya aja.

Sementara untuk Ustaz Tengku Zulkarnain yang bermaksud mengkritisi hasil Munas Alim Ulama NU, padahal pak ustaz tidak mampu men-tashrif kata kafara (كفر), Dalam video tersebuat pas ustaz Tengkuzul menyebut asal Kafir itu "Kafaro-Yukaffiru-Kufron" ini merupakan kesalahan fatal dalam ilmu shorof.

Karena sesungguhnya lafadz 'kafir' merupakan isim fail tsulasi mujarod dari madzi kafaro, jika di tashrif menjadi ''kafaro-yakfuru-kufron''.

Bila tashrifan saja belum mampu tapi mengomentari keputusan Bahtsul Masail Ulama NU, padahal Bahtsul Masail itu kajian ilmiah fiqih kelas tinggi, hanya ulama-ulama yang berilmu tinggi yang berani ikut diskusi ilmiyah ini.

Sampai saat ini, saya masih belum berani ikut bahtsul masail yang diselenggarakan PBNU. Kalaupun datang, paling-paling bagian "noto sandal" atau bagian nggodok wedhang.
-----------
SISMANTO Ketua Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama Kutai Timur'
Advertisement

Tidak ada komentar

Silahakan berkomentar sesuai artikel