Islampers.com - Yogyakarta
Saat ini, masyarakat hidup dalam tradisi ilmiah dan segala aspek kehidupan ini nyaris dipahami dari sudut pandang ilmu. Tentu saja, ini adalah pertanda bagi zaman ilmu pengetahuan di mana mitos menjadi khayalan masa lalu yang tak pernah mendapat tempat. Orang bisa saja begitu mudah mereduksi segala bentuk keyakinan mitos dari aspek-aspek mendasar ilmu pengetahuan, hingga kesimpulan ini menjadi tanda ketidakberdayaan masa lalu yang begitu gelap.
Iman kita adalah gambaran sejarah yang nyaris tidak pernah pudar. Betapapun agak primitif untuk didefinisikan, namun ia menghapus semua tatanan masa lalu yang bersifat mitologis, andai saja sifat ilmiah dari zaman ini dihapus, jenis keyakinan mana yang bukan mitos. Tanpa logika, iman begitu rapuh, ia bahkan mudah menjadi pudar tanpa landasan empiris.
Iman bukan sesuatu yang mudah untuk dijelaskan, jika ia adalah bahan mentah bagi agama, maka kebenaran akan mengekspresikan tatanan yang lebih mendalam dari semua itu. Jika agama mengajari kita kemampuan untuk menjelaskan pemikiran yang tak terpikirkan dan mampu mengungkap hal-hal yang tak mudah dipahami, tentu rumusan kebahagiaan akan mudah ditemukan.
Kita terkadang dihadapkan dengan masalah-masalah yang tak mudah untuk dipecahkan, menemukan tragedi yang tak masuk akal, dan hampir-hampir tidak tahu apa yang harus dilakukan. Jika semua orientasi kita berjalan melalui iman, entah bagaimana pun hidup ini terasa begitu mudah, kegembiraan, kedamaian, dan tentu saja hasrat akan sesuatu yang sempurna dapat ditemukan.
Logika iman selalu menuntun kita pada hal-hal yang tidak logis, meski kenyataannya akal sehat mempengaruhi spiritual kita. Orang cenderung mudah menjelaskan kebenaran iman hanya ketika ia mengalaminya. Kontemplasi personal terhadap yang transenden adalah bentuk ekspresi eksternal dunia luar yang tidak hanya menjelaskan kenyataan di luar dirinya, tetapi juga ditemukan dimensi wujud yang merupakan bagian dari dirinya.
Logika akal dan hati memang tidak bisa dibandingkan, ia bukan merupakan dua wujud diri yang terpisah dan kontradiktif, meski kenyataannya orang melihat logika iman terpusat pada hati, begitupun sebaliknya dengan logika akal. Tentu saja, kenyataan ini bukan yang sesungguhnya, karena dimensi manusia merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan, ia bukan sesuatu yang terpisah antara daging fisik dan jiwa spiritual, melainkan bentuk jalinan sinergi wujud yang utuh. Ini merupakan tafsir yang sangat rasional bagi tatanan iman betapapun menyangkut hal-hal yang irasional.
Klaim kebenaran tidak pernah keluar dari batas-batas kedirian kita, karena bahasa memiliki keterbatasan. Ketika struktur logika akal tidak bisa memahami makna ilahiah, maka pada saat itu kita mengalami kepastian yang jauh melampaui diri. Ini adalah saat di mana logika menemukan kebenaran transenden. Justru makna ilahiah ditemukan saat logika menemukan batas-batasnya dalam bahasa.
Setiap zaman, iman selalu mewujud dalam kenyataan yang begitu kompleks. Antara kepastian, keraguan, dan sikap kesalehan memiliki ciri khas yang tidak selalu sama. Meski iman tidak selalu rasional, tetapi kenyataan sejarah membawa kita pada pemahaman bahwa keinginan mereka untuk menumbuhkan sikap kebenaran selalu berharap mendapatkan pengakuan.
Penegasan ini menghasilkan bukti yang rasional, bahkan bersifat ilmiah jika dihadapkan secara kontradiktif dengan mitos. Terkadang, pengalaman iman kita masih terasa cukup dangkal, kepercayaan kita terhadap Tuhan harus diwujudkan dalam amalan-amalan kesalehan, karena hanya dengan ini konsep dan pemikiran tentang Tuhan dapat diterima, paling tidak dapat diketahui.
Terlalu banyak di antara kita merasa kehilangan iman sejati, corak berpikir dan cara menjalani hidup melalui iman hampir tidak pernah berkembang, ini adalah warisan sejarah yang tampak konyol dalam kehidupan kita. Betapapun kompleksnya hal-hal yang kita hadapi dalam hidup, iman kita masih masih terbelakang.
Logika iman yang selalu dipakai belum pernah sampai pada satu titik yang memuaskan. Arti kebahagiaan, kedamaian, dan keabadian masih tampak begitu absurd di mata kita. Tak jarang justru banyak orang memperlihatkan bentuk keimanannya yang saling bermusuhan, iman bukan saja tentang Tuhan dan kebenaran, tetapi ia lebih merupakan gejolak fenomena diri yang selalu berperang dengan jenis keimanan yang lain. Apa arti kedamaian sejati jika jenis keimanan masih selalu dipertentangkan.
Di segala zaman, orang-orang berpikir tentang Tuhan dengan cara yang mirip, karena watak kebenaran religius menunjukkan Tuhan yang tak terbatas. Kita tidak pernah menemukan kata akhir untuk mengurainy, betapapun logika iman menegaskan kesucian dan finalitas dalam kebenaran.
Hari ini dan untuk selamanya ilmu pengetahuan terobsesi dalam mengatasi dan menjelaskan realitas, mengendalikannya di bahwa otoritas akal universal, dan menemukan segala-galanya demi kemajuan, tetapi dialektika ruang dan waktu ini membatasinya dengan keterbatasan sejarah dan kemewaktuan masa depan.
Ini berakhir pada begitu banyak hal-hal yang tidak terpecahkan. Melalui bentuk kepercayaan yang bagaimanapun, kita perlu menemukan sumber kepastian, kepuasan, ketakjuban, dan keabadian dalam kontemplasi iman.
Iman kita harus tercerahkan, melalui logika dan tatanan akal yang sehat, kita perlu memiliki keterbukaan pikiran untuk menghargai kebenaran yang mungkin tidak pernah kita bayangkan, semua agama dan jenis keimanan tidak perlu dipertentangkan.
Perang suci lintas iman merupakan noda sejarah bagi segala keimanan, ia bukan sebuah prestasi melainkan ketidakbertanggungjawaban atas logika iman yang kita miliki. Di atas segala-galanya, “Tuhan” bukan sesuatu yang mudah untuk dipahami.
Rohmatul Izad_Magister Ilmu Filsafat Universitas Gadjah Mada & Ketua Pusat Studi Keislaman dan Ilmu-Ilmu Sosial di Pesantren Baitu Hikmah Krapyak Yogyakarta. [Islampers.com]
Saat ini, masyarakat hidup dalam tradisi ilmiah dan segala aspek kehidupan ini nyaris dipahami dari sudut pandang ilmu. Tentu saja, ini adalah pertanda bagi zaman ilmu pengetahuan di mana mitos menjadi khayalan masa lalu yang tak pernah mendapat tempat. Orang bisa saja begitu mudah mereduksi segala bentuk keyakinan mitos dari aspek-aspek mendasar ilmu pengetahuan, hingga kesimpulan ini menjadi tanda ketidakberdayaan masa lalu yang begitu gelap.
Iman kita adalah gambaran sejarah yang nyaris tidak pernah pudar. Betapapun agak primitif untuk didefinisikan, namun ia menghapus semua tatanan masa lalu yang bersifat mitologis, andai saja sifat ilmiah dari zaman ini dihapus, jenis keyakinan mana yang bukan mitos. Tanpa logika, iman begitu rapuh, ia bahkan mudah menjadi pudar tanpa landasan empiris.
Iman bukan sesuatu yang mudah untuk dijelaskan, jika ia adalah bahan mentah bagi agama, maka kebenaran akan mengekspresikan tatanan yang lebih mendalam dari semua itu. Jika agama mengajari kita kemampuan untuk menjelaskan pemikiran yang tak terpikirkan dan mampu mengungkap hal-hal yang tak mudah dipahami, tentu rumusan kebahagiaan akan mudah ditemukan.
Kita terkadang dihadapkan dengan masalah-masalah yang tak mudah untuk dipecahkan, menemukan tragedi yang tak masuk akal, dan hampir-hampir tidak tahu apa yang harus dilakukan. Jika semua orientasi kita berjalan melalui iman, entah bagaimana pun hidup ini terasa begitu mudah, kegembiraan, kedamaian, dan tentu saja hasrat akan sesuatu yang sempurna dapat ditemukan.
Logika iman selalu menuntun kita pada hal-hal yang tidak logis, meski kenyataannya akal sehat mempengaruhi spiritual kita. Orang cenderung mudah menjelaskan kebenaran iman hanya ketika ia mengalaminya. Kontemplasi personal terhadap yang transenden adalah bentuk ekspresi eksternal dunia luar yang tidak hanya menjelaskan kenyataan di luar dirinya, tetapi juga ditemukan dimensi wujud yang merupakan bagian dari dirinya.
Logika akal dan hati memang tidak bisa dibandingkan, ia bukan merupakan dua wujud diri yang terpisah dan kontradiktif, meski kenyataannya orang melihat logika iman terpusat pada hati, begitupun sebaliknya dengan logika akal. Tentu saja, kenyataan ini bukan yang sesungguhnya, karena dimensi manusia merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan, ia bukan sesuatu yang terpisah antara daging fisik dan jiwa spiritual, melainkan bentuk jalinan sinergi wujud yang utuh. Ini merupakan tafsir yang sangat rasional bagi tatanan iman betapapun menyangkut hal-hal yang irasional.
Klaim kebenaran tidak pernah keluar dari batas-batas kedirian kita, karena bahasa memiliki keterbatasan. Ketika struktur logika akal tidak bisa memahami makna ilahiah, maka pada saat itu kita mengalami kepastian yang jauh melampaui diri. Ini adalah saat di mana logika menemukan kebenaran transenden. Justru makna ilahiah ditemukan saat logika menemukan batas-batasnya dalam bahasa.
Setiap zaman, iman selalu mewujud dalam kenyataan yang begitu kompleks. Antara kepastian, keraguan, dan sikap kesalehan memiliki ciri khas yang tidak selalu sama. Meski iman tidak selalu rasional, tetapi kenyataan sejarah membawa kita pada pemahaman bahwa keinginan mereka untuk menumbuhkan sikap kebenaran selalu berharap mendapatkan pengakuan.
Penegasan ini menghasilkan bukti yang rasional, bahkan bersifat ilmiah jika dihadapkan secara kontradiktif dengan mitos. Terkadang, pengalaman iman kita masih terasa cukup dangkal, kepercayaan kita terhadap Tuhan harus diwujudkan dalam amalan-amalan kesalehan, karena hanya dengan ini konsep dan pemikiran tentang Tuhan dapat diterima, paling tidak dapat diketahui.
Terlalu banyak di antara kita merasa kehilangan iman sejati, corak berpikir dan cara menjalani hidup melalui iman hampir tidak pernah berkembang, ini adalah warisan sejarah yang tampak konyol dalam kehidupan kita. Betapapun kompleksnya hal-hal yang kita hadapi dalam hidup, iman kita masih masih terbelakang.
Logika iman yang selalu dipakai belum pernah sampai pada satu titik yang memuaskan. Arti kebahagiaan, kedamaian, dan keabadian masih tampak begitu absurd di mata kita. Tak jarang justru banyak orang memperlihatkan bentuk keimanannya yang saling bermusuhan, iman bukan saja tentang Tuhan dan kebenaran, tetapi ia lebih merupakan gejolak fenomena diri yang selalu berperang dengan jenis keimanan yang lain. Apa arti kedamaian sejati jika jenis keimanan masih selalu dipertentangkan.
Di segala zaman, orang-orang berpikir tentang Tuhan dengan cara yang mirip, karena watak kebenaran religius menunjukkan Tuhan yang tak terbatas. Kita tidak pernah menemukan kata akhir untuk mengurainy, betapapun logika iman menegaskan kesucian dan finalitas dalam kebenaran.
Hari ini dan untuk selamanya ilmu pengetahuan terobsesi dalam mengatasi dan menjelaskan realitas, mengendalikannya di bahwa otoritas akal universal, dan menemukan segala-galanya demi kemajuan, tetapi dialektika ruang dan waktu ini membatasinya dengan keterbatasan sejarah dan kemewaktuan masa depan.
Ini berakhir pada begitu banyak hal-hal yang tidak terpecahkan. Melalui bentuk kepercayaan yang bagaimanapun, kita perlu menemukan sumber kepastian, kepuasan, ketakjuban, dan keabadian dalam kontemplasi iman.
Iman kita harus tercerahkan, melalui logika dan tatanan akal yang sehat, kita perlu memiliki keterbukaan pikiran untuk menghargai kebenaran yang mungkin tidak pernah kita bayangkan, semua agama dan jenis keimanan tidak perlu dipertentangkan.
Perang suci lintas iman merupakan noda sejarah bagi segala keimanan, ia bukan sebuah prestasi melainkan ketidakbertanggungjawaban atas logika iman yang kita miliki. Di atas segala-galanya, “Tuhan” bukan sesuatu yang mudah untuk dipahami.
Rohmatul Izad_Magister Ilmu Filsafat Universitas Gadjah Mada & Ketua Pusat Studi Keislaman dan Ilmu-Ilmu Sosial di Pesantren Baitu Hikmah Krapyak Yogyakarta. [Islampers.com]
Advertisement
Baca juga:
Komentar